'
JAKARTA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) prihatin dengan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode saat ini yang belum bisa mengungkap kasus-kasus besar atau "big fish".
"Ini memang suatu keprihatinan kita, saya berharap perlu didorong, KPK perlu di depanlah," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Menurut Boyamin, pihaknya sudah meramal sejak 10 tahun yang lalu bahwa kinerja KPK akan kalah dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengungkap kasus-kasus besar tindak pidana korupsi.
"Itu (ramalan) sudah saya sampaikan kepada kedua belah pihak," ujar Boyamin.
Boyamin berpandangan ketidakmampuan KPK mengungkap kasus-kasus besar seperti yang dilakukan Kejagung karena pola kerja yang dijalankan KPK selama ini.
Ia menjelaskan KPK hanya fokus pada operasi tangkap tangan (OTT) yang menerapkan Pasal 5 tentang suap, Pasal 11 tentang Gratifikasi serta Pasal 12 tentang Penerimaan Hadiah dan Pemerasan.
Dari OTT itu, katanya, KPK melakukan pengembangan kasus jika pengembangan kasus yang dilakukan KPK selalu berasal dari OTT maka akan terbiasa dimudahkan dalam proses hukum.
"Yaitu apa? Dia (KPK) membuat bukti istilahnya gitu, jadi dia mau 'ngincer' orang kalau enggak jadi diberikan uangnya kan enggak jadi ada bukti bahwa terjadi suap, jadi ini sesuatu yang membuat bukti jadi gampang gitu," katanya seperti dikutip antara
Berbeda dengan Kejagung, lanjut dia, dalam praktiknya, lembaga Adhyaksa itu selalu berkontribusi atau berkutat pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi dan segala perubahannya.
Di mana pada Pasal 2, katanya, tentang perbuatan melawan hukum Pasal 3 adalah perbuatan penyalahgunaan wewenang.
"Kalau Pasal 2 dan Pasal 3 adalah mencari bukti dan menemukan bukti. Kenapa? Karena korupsinya sudah terjadi, bisa jadi lima tahun yang lalu, 12 tahun yang lalu, atau setahun yang lalu sudah peristiwanya terjadi dan harus menemukan dan mencari alat bukti," katanya.
Dengan pencarian alat bukti ini, kata Boyamin, otomatis ketika Kejagung fokus dan konsentrasi di situ, maka lama-lama akan menemukan "ikan besar" (kasus besar), dan itu terbukti dimulai dari tahun 2018 dalam kasus Jiwasraya yang dilaporkan MAKI.
Dari kasus tersebut, lanjut dia, dirumuskan sampai 2019--2020 yang kemudian rentetannya menjadi kasus ASABRI.
Tidak hanya itu, MAKI merupakan salah saru yang melaporkan ke Kejagung kasus langka dan mahalnya minyak goreng waktu itu akibat ekspor CPO, termasuk kasus impor tekstil di Batam, dan kasus Satelit Kemenhan.
"Kemudian beberapa kasus lain besar-besar yang termasuk kasus perkebunan Surya Darmadi yang dirumuskan kerugiannya sampai sangat tinggi di atas Rp50 triliun," kata Boyamin.
Hal inilah yang membuat Kejagung mampu mengungkap kasus-kasus megakorupsi dengan pola kerja berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 mencari dan menemukan alat bukti.
Dengan perbedaan pola kerja ini, kata Boyamin, akan menjadi perbedaan sepanjang kedua kubu ini tetap bermain di kutub masing-masing. Akan terjadi KPK hanya fokus OTT dan hanya berkutat di Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 12.
"Istilahnya gini, kalau KPK itu dalam konteks ini adalah OTT tidak membangun kasus, sementara Kejagung membangun kasus. Istilahnya 'case building'," paparnya.
Namun KPK bukan berarti tidak berupaya membangun kasus. Boyamin melihat beberapa upaya dilakukan KPK, misalnya kasus terakhir adalah bansos terkait dengan PT BGR Logistik Indonesia yang salah satunya bekas Direktur Utama Transjakarta diproses dan dicekal karena hasil pengembangan dari OTT kasusnya Juliari Batubara (mantan Mensos).
"Jadi kalau toh KPK itu menggunakan Pasal 2 atau Pasal 3 itu adalah pengembangan dari OTT," paparnya.
Boyamin mencatat KPK pernah mengembangkan kasus KTP-el pada tahun 2012 dan diproses tahun 2014-2015 yang dianggap sebagai prestasi mengungkap kasus besar.
Dari pola kerja saat ini, menurut Boyamin, KPK tampak seperti tidak berusaha menyentuh Pasal 2 dan Pasal 3 sehingga yang diproses adalah kasus-kasus yang berdasarkan OTT. Oleh karena itu tidak akan pernah menemukan kasus besar.
"Karena OTT tidak, kalau bisa yang dikembangkan ya dikembangkan (kasus) kecil-kecil lagi aja dan itu yang susah memang," kata Boyamin.
Sementara itu, kenapa Kejagung bisa mengungkap kasus-kasus besar karena berkonsentrasi di Pasal 2 dan Pasal 3 yang otomatis banyak kasus-kasus besar mengantre untuk diungkap, paparnya.
Menurut Boyamin, keberhasilan Kejagung tidak hanya mengungkap kasus-kasus besar tapi mampu merumuskan kasus terkait tentang kerugian perekonomian negara.
Hal itu, paparnya, dimulai dari kasus impor tekstil di Batam yang terungkap terjadi kerugian perekonomian negara, termasuk kasus Surya Darmadi, impor minyak goreng.
"Jadi Kejagung itu bukan hanya kasus besar tapi sudah melompat lagi tentang merumuskan kerugian perekonomian negara, sementara KPK masih berkutat kerugian keuangan negara dan itu kemudian hanya berdasarkan OTT dan temuan BPK misalnya," kata Boyamin.(*)
Pj Bupati Kampar Minta Patuhi Adab dan Ajang Jalin Silaturahmi Rabu, 17 April 2024 | 11:38:00 WIB |
Pj Bupati Kampar dan Plh Sekda Ikuti Rangkaian Perayaan Hari Rayo Onam dan Ziarah Kubur Tahun 2024 Rabu, 17 April 2024 | 07:35:00 WIB |
Tragis,Suami Tega Tikam Istrinya Sampai Meregang Nyawa Selasa, 16 April 2024 | 16:55:00 WIB |
Puncak Arus Balik Lebaran, Semua Loket Pintu Tol Dibuka Minggu, 14 April 2024 | 13:04:00 WIB |
Dua Polling Pilkada Siak, Afni Berada Diposisi Pertama Minggu, 14 April 2024 | 10:22:43 WIB |
Arus Balik Lebaran Meningkat, 154 Penerbangan Beroperasi di Bandara SSK II Pekanbaru Sabtu, 13 April 2024 | 15:06:00 WIB |
Libur Lebaran, Riau Terpantau Nihil Karhutla Sabtu, 13 April 2024 | 14:00:00 WIB |
Penyeberangan Dumai-Rupat Padat, Akibatnya Antrian Panjang Jumat, 12 April 2024 | 07:54:00 WIB |
Kiprah PHR Tingkatkan Produksi Energi Negeri di Hari nan Fitri Rabu, 10 April 2024 | 17:35:00 WIB |
Kemenag Gelar Pemantauan Hilal Awal Syawal 1445 H di 120 Lokasi Selasa, 9 April 2024 | 20:19:00 WIB |
Arus Balik Lebaran Meningkat, 154 Penerbangan Beroperasi di Bandara SSK II Pekanbaru Sabtu, 13 April 2024 | 15:06:00 WIB |
Libur Lebaran, Riau Terpantau Nihil Karhutla Sabtu, 13 April 2024 | 14:00:00 WIB |
Penyeberangan Dumai-Rupat Padat, Akibatnya Antrian Panjang Jumat, 12 April 2024 | 07:54:00 WIB |
Kiprah PHR Tingkatkan Produksi Energi Negeri di Hari nan Fitri Rabu, 10 April 2024 | 17:35:00 WIB |
Kemenag Gelar Pemantauan Hilal Awal Syawal 1445 H di 120 Lokasi Selasa, 9 April 2024 | 20:19:00 WIB |
Buka Posko Pengaduan, 22 Aduan Terkait THR Diterima Disnakertrans Riau Selasa, 9 April 2024 | 13:10:00 WIB |
Bayi Gajah Betina Lahir Pusat Konservasi Gajah (PKG) Sebanga Senin, 8 April 2024 | 12:15:00 WIB |
Tuduhan Pemotongan Dana UKW dari BUMN, Sekjen PWI Pusat Klarifikasi Minggu, 7 April 2024 | 12:21:00 WIB |
Ketua DK PWI Tegaskan Bantuan UKW dari BUMN Jangan Ada Pemotongan Fee Sabtu, 6 April 2024 | 20:05:00 WIB |
Energi Kebersamaan, PHR Donasikan Sejumlah Alkes untuk Puskesmas di Rumbai Sabtu, 6 April 2024 | 17:55:00 WIB |
Unggul dari Caleg Partai Nasdem Lain Untuk DPRD Riau, Ini Kata Munawar Syahputra Sabtu, 17 Februari 2024 | 23:03:59 WIB |
Gantikan Amyurlis, Abdi Saragih Resmi Dilantik Jadi PAW Anggota DPRD Riau Senin, 20 November 2023 | 13:35:00 WIB |
Wujudkan Kesejahteraan Petani Sawit, Pemerintah Berikan Program Strategis Senin, 6 November 2023 | 14:01:00 WIB |
Anis Fauzan SH, Merangkai Ikatan Batin, Pilih Maju di Dapil Daerah Kelahiran Senin, 26 Juni 2023 | 19:23:05 WIB |
Andi Putra Dipercaya Pimpin KPU Kampar Periode 2024-2029 Minggu, 24 Maret 2024 | 23:42:06 WIB |
Ketua Bawaslu Kabupaten Kampar Syawir Abdullah Ucapkan Selamat Minggu, 24 Maret 2024 | 23:38:44 WIB |
Lima Komisioner KPU Kampar Dilantik Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari Minggu, 24 Maret 2024 | 22:34:00 WIB |
Rencana Jabatan ASN Diisi Anggota TNI/Polri Menuai Kritikan Kamis, 14 Maret 2024 | 22:03:36 WIB |
Kiprah PHR Tingkatkan Produksi Energi Negeri di Hari nan Fitri Rabu, 10 April 2024 | 17:35:00 WIB |
Energi Kebersamaan, PHR Donasikan Sejumlah Alkes untuk Puskesmas di Rumbai Sabtu, 6 April 2024 | 17:55:00 WIB |
Solidaritas dan Kepedulian, Rumah BUMN Riau Salurkan Bantuan Kepada Anak Yatim Kamis, 4 April 2024 | 10:19:00 WIB |
Harga Pinang Kering di Riau Minggu Ini Dihargai Rp4.400 per Kg Rabu, 3 April 2024 | 13:42:00 WIB |
Tragis,Suami Tega Tikam Istrinya Sampai Meregang Nyawa Selasa, 16 April 2024 | 16:55:00 WIB |
Tragedi Berdarah Panen Sawit di Terantang, Parijon Masuk RS, Aditya Melarikan Diri Minggu, 31 Maret 2024 | 05:02:00 WIB |
Cegah Kecurangan, Polisi di Pekanbaru Cek Meteran di SPBU Sabtu, 30 Maret 2024 | 05:29:00 WIB |
Sidang Pembuktian Selesai, Ini Bentuk Sinergitas Atas Kinerja Gakkumdu Kampar Rabu, 27 Maret 2024 | 22:45:00 WIB |
Tuduhan Pemotongan Dana UKW dari BUMN, Sekjen PWI Pusat Klarifikasi Minggu, 7 April 2024 | 12:21:00 WIB |
Ketua DK PWI Tegaskan Bantuan UKW dari BUMN Jangan Ada Pemotongan Fee Sabtu, 6 April 2024 | 20:05:00 WIB |
PWI Pusat Lanjutkan Program UKW Gratis PWI se-Indonesia Rabu, 3 April 2024 | 23:50:43 WIB |
Hari Ini, Batas Lapor SPT, Jika Telat Ini Ancaman Hukuman Minggu, 31 Maret 2024 | 21:41:46 WIB |
Nissan Hyper Urban: Bintang Utama di Japan Mobility Show Rabu, 4 Oktober 2023 | 09:14:43 WIB |
Patahan Rangka eSAF Motor Honda Menjadi Perbincangan, AHM Sedang Lakukan Investigasi Rabu, 23 Agustus 2023 | 20:00:17 WIB |
Astra Honda Motor Belum Mau Lakukan Recall Rabu, 23 Agustus 2023 | 19:49:24 WIB |
Selamat Jalan Marco Simoncelli si Gladiator Lintasan Minggu, 13 Agustus 2023 | 19:59:18 WIB |
Pj Bupati Kampar Minta Patuhi Adab dan Ajang Jalin Silaturahmi Rabu, 17 April 2024 | 11:38:00 WIB |
Pj Bupati Kampar dan Plh Sekda Ikuti Rangkaian Perayaan Hari Rayo Onam dan Ziarah Kubur Tahun 2024 Rabu, 17 April 2024 | 07:35:00 WIB |
Dua Polling Pilkada Siak, Afni Berada Diposisi Pertama Minggu, 14 April 2024 | 10:22:43 WIB |
Nasib Guru Tak Jelas Honor 3 Bulan, Miris Hari Raya Idul Fitri Harus Gigit Jari Jumat, 5 April 2024 | 23:52:49 WIB |
Hari Ini Terakhir Bank RiauKepri Melayani Nasabah, BPKAD dan Disdik Kampar Tidak Ada Respon Jumat, 5 April 2024 | 18:09:00 WIB |
10 Tips Aman Meninggalkan Rumah Minggu, 9 April 2023 | 13:16:17 WIB |
Nyeri Tubuh, Bisa Sinyal Gejala Kolesterol Tinggi Sabtu, 7 Januari 2023 | 20:56:54 WIB |
Besok, Gubernur Riau Rencanakan Buka Bimtek SMSI Riau Terkait Pergubri 19 Tahun 2021 Rabu, 30 November 2022 | 19:41:23 WIB |
Anak Kecanduan Game Online? Ini Solusinya Jumat, 4 November 2022 | 20:42:29 WIB |
JAKARTA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) prihatin dengan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode saat ini yang belum bisa mengungkap kasus-kasus besar atau "big fish".
"Ini memang suatu keprihatinan kita, saya berharap perlu didorong, KPK perlu di depanlah," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Menurut Boyamin, pihaknya sudah meramal sejak 10 tahun yang lalu bahwa kinerja KPK akan kalah dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengungkap kasus-kasus besar tindak pidana korupsi.
"Itu (ramalan) sudah saya sampaikan kepada kedua belah pihak," ujar Boyamin.
Boyamin berpandangan ketidakmampuan KPK mengungkap kasus-kasus besar seperti yang dilakukan Kejagung karena pola kerja yang dijalankan KPK selama ini.
Ia menjelaskan KPK hanya fokus pada operasi tangkap tangan (OTT) yang menerapkan Pasal 5 tentang suap, Pasal 11 tentang Gratifikasi serta Pasal 12 tentang Penerimaan Hadiah dan Pemerasan.
Dari OTT itu, katanya, KPK melakukan pengembangan kasus jika pengembangan kasus yang dilakukan KPK selalu berasal dari OTT maka akan terbiasa dimudahkan dalam proses hukum.
"Yaitu apa? Dia (KPK) membuat bukti istilahnya gitu, jadi dia mau 'ngincer' orang kalau enggak jadi diberikan uangnya kan enggak jadi ada bukti bahwa terjadi suap, jadi ini sesuatu yang membuat bukti jadi gampang gitu," katanya seperti dikutip antara
Berbeda dengan Kejagung, lanjut dia, dalam praktiknya, lembaga Adhyaksa itu selalu berkontribusi atau berkutat pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi dan segala perubahannya.
Di mana pada Pasal 2, katanya, tentang perbuatan melawan hukum Pasal 3 adalah perbuatan penyalahgunaan wewenang.
"Kalau Pasal 2 dan Pasal 3 adalah mencari bukti dan menemukan bukti. Kenapa? Karena korupsinya sudah terjadi, bisa jadi lima tahun yang lalu, 12 tahun yang lalu, atau setahun yang lalu sudah peristiwanya terjadi dan harus menemukan dan mencari alat bukti," katanya.
Dengan pencarian alat bukti ini, kata Boyamin, otomatis ketika Kejagung fokus dan konsentrasi di situ, maka lama-lama akan menemukan "ikan besar" (kasus besar), dan itu terbukti dimulai dari tahun 2018 dalam kasus Jiwasraya yang dilaporkan MAKI.
Dari kasus tersebut, lanjut dia, dirumuskan sampai 2019--2020 yang kemudian rentetannya menjadi kasus ASABRI.
Tidak hanya itu, MAKI merupakan salah saru yang melaporkan ke Kejagung kasus langka dan mahalnya minyak goreng waktu itu akibat ekspor CPO, termasuk kasus impor tekstil di Batam, dan kasus Satelit Kemenhan.
"Kemudian beberapa kasus lain besar-besar yang termasuk kasus perkebunan Surya Darmadi yang dirumuskan kerugiannya sampai sangat tinggi di atas Rp50 triliun," kata Boyamin.
Hal inilah yang membuat Kejagung mampu mengungkap kasus-kasus megakorupsi dengan pola kerja berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 mencari dan menemukan alat bukti.
Dengan perbedaan pola kerja ini, kata Boyamin, akan menjadi perbedaan sepanjang kedua kubu ini tetap bermain di kutub masing-masing. Akan terjadi KPK hanya fokus OTT dan hanya berkutat di Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 12.
"Istilahnya gini, kalau KPK itu dalam konteks ini adalah OTT tidak membangun kasus, sementara Kejagung membangun kasus. Istilahnya 'case building'," paparnya.
Namun KPK bukan berarti tidak berupaya membangun kasus. Boyamin melihat beberapa upaya dilakukan KPK, misalnya kasus terakhir adalah bansos terkait dengan PT BGR Logistik Indonesia yang salah satunya bekas Direktur Utama Transjakarta diproses dan dicekal karena hasil pengembangan dari OTT kasusnya Juliari Batubara (mantan Mensos).
"Jadi kalau toh KPK itu menggunakan Pasal 2 atau Pasal 3 itu adalah pengembangan dari OTT," paparnya.
Boyamin mencatat KPK pernah mengembangkan kasus KTP-el pada tahun 2012 dan diproses tahun 2014-2015 yang dianggap sebagai prestasi mengungkap kasus besar.
Dari pola kerja saat ini, menurut Boyamin, KPK tampak seperti tidak berusaha menyentuh Pasal 2 dan Pasal 3 sehingga yang diproses adalah kasus-kasus yang berdasarkan OTT. Oleh karena itu tidak akan pernah menemukan kasus besar.
"Karena OTT tidak, kalau bisa yang dikembangkan ya dikembangkan (kasus) kecil-kecil lagi aja dan itu yang susah memang," kata Boyamin.
Sementara itu, kenapa Kejagung bisa mengungkap kasus-kasus besar karena berkonsentrasi di Pasal 2 dan Pasal 3 yang otomatis banyak kasus-kasus besar mengantre untuk diungkap, paparnya.
Menurut Boyamin, keberhasilan Kejagung tidak hanya mengungkap kasus-kasus besar tapi mampu merumuskan kasus terkait tentang kerugian perekonomian negara.
Hal itu, paparnya, dimulai dari kasus impor tekstil di Batam yang terungkap terjadi kerugian perekonomian negara, termasuk kasus Surya Darmadi, impor minyak goreng.
"Jadi Kejagung itu bukan hanya kasus besar tapi sudah melompat lagi tentang merumuskan kerugian perekonomian negara, sementara KPK masih berkutat kerugian keuangan negara dan itu kemudian hanya berdasarkan OTT dan temuan BPK misalnya," kata Boyamin.(*)