PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
Dampaknya sangat terasa. Dewan Pers mencatat lebih dari seribu jurnalis kehilangan pekerjaan sepanjang 2023 hingga awal 2024. “Ini bukan lagi hanya krisis ekonomi media, tapi krisis demokrasi,” kata Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, dalam sebuah diskusi publik di Jakarta. Menurutnya, gelombang PHK dan matinya sejumlah redaksi adalah akibat langsung dari ketimpangan ekosistem distribusi iklan. “Ketika iklan pemerintah lebih memilih platform digital luar, maka media lokal kehilangan oksigen,” ujar Ninik.
Yang lebih mengkhawatirkan, ketimpangan ini diperparah oleh besarnya porsi dominasi raksasa digital. TikTok, misalnya, pada 2022 meraup pendapatan iklan global hingga Rp158 triliun—melebihi total belanja iklan nasional Indonesia yang hanya sekitar Rp135 triliun. Sementara tiga pemain besar—Google, Meta, dan Amazon—menguasai lebih dari separuh pasar iklan dunia.
Masuknya platform asing dalam perebutan iklan membuat media lokal seperti bertarung tanpa senjata. Mereka harus bersaing dalam medan yang tak adil: satu pihak bermain dengan algoritma dan data miliaran pengguna, sementara satu pihak lain bertahan dengan etika dan prinsip jurnalistik.
Pemerintah pun seperti tak peduli. Alih-alih menyusun regulasi untuk menyeimbangkan ekosistem ini, mereka malah ikut arus. Sebagian kementerian bahkan secara terang-terangan memilih menyewa agensi kreatif dibanding beriklan di media. Semuanya demi "citra", bukan informasi. Demi popularitas, bukan transparansi.
Jika situasi ini terus berlanjut, jangan heran bila lima tahun ke depan, kita hanya akan mengenal berita dalam bentuk vlog dan konten bersponsor. Tak ada lagi jurnalisme investigasi, tak ada lagi liputan mendalam. Yang tersisa hanyalah suara-suara yang menyenangkan telinga, dan tayangan yang memuaskan algoritma.