PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
Pengamat hukum dari Universitas Andalas, Dr. Radian Syam, menilai insiden ini mencerminkan lemahnya kultur tanggap darurat di tubuh kepolisian. "Pembiaran terhadap kekerasan di lingkungan institusi penegak hukum bukan sekadar kelalaian, tapi bentuk kegagalan sistemik. Jika polisi yang bertugas tidak mampu bertindak cepat di kantornya sendiri, bagaimana dengan perlindungan di ruang publik lainnya?" ujarnya.
Senada dengan itu, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Andika Saputra, menyebut kejadian ini sebagai bentuk "krisis kepercayaan yang nyata". Ia menekankan pentingnya reformasi mental di tubuh Polri. "Kita terlalu sering melihat tindakan reaktif, tapi jarang melihat ada upaya proaktif. Padahal, rasa aman tidak datang dari sanksi, melainkan dari budaya keberpihakan terhadap korban," katanya.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa, premanisme bisa hadir di mana saja, bahkan di ruang yang seharusnya steril dari ancaman. Dan lebih buruk lagi, bisa terjadi tanpa perlawanan berarti dari mereka yang memiliki kewenangan untuk mencegahnya.
Perlu Tindakan Lebih dari Sekadar Rotasi
Institusi kepolisian perlu merebut kembali kepercayaan masyarakat, bukan hanya dengan sanksi administratif, tetapi juga melalui penegakan hukum yang konsisten dan berani. Penanganan tuntas terhadap pelaku pengeroyokan dan pengusutan menyeluruh terhadap unsur pembiaran, harus menjadi prioritas. Ini bukan hanya soal satu kasus, tetapi soal komitmen untuk menjadikan hukum sebagai pelindung warga negara, bukan sekadar lambang di dinding kantor.