PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
INSIDEN pengeroyokan yang terjadi di halaman Mapolsek Bukit Raya, Riau, seolah menjadi tamparan keras bagi wajah penegakan hukum di Indonesia. Bukan karena lokasinya yang berada di tengah kota. Bukan pula karena pelakunya diduga adalah debt collector yang dikenal bertindak di luar batas. Tapi karena kekerasan itu terjadi di tempat yang seharusnya menjadi simbol perlindungan: kantor polisi.
Sepasang suami istri menjadi korban. Kendaraan mereka dirusak, dan mereka diintimidasi. Yang lebih menyakitkan, semua itu terjadi di hadapan aparat yang tengah bertugas, tanpa respons yang memadai. Tidak ada upaya pencegahan yang tampak, tidak ada tindakan cepat yang bisa membendung amarah pelaku. Yang ada justru diam. Membisu. Seolah tak berdaya di hadapan premanisme.
Kapolda Riau, Irjen Pol Herry Heryawan, bergerak cepat. Ia mencopot Kapolsek Bukit Raya dari jabatannya, menegaskan bahwa tindakan tegas bukanlah slogan belaka. Ia menyebut, pencopotan itu sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kelalaian dalam pengawasan, dan penanganan situasi yang mengancam ketertiban. Langkah ini tentu patut diapresiasi. Namun, publik juga berharap agar penanganan tak berhenti pada pergantian posisi semata.
Karena masalah sesungguhnya bukan hanya soal jabatan, tetapi menyangkut kepercayaan publik yang terkikis. Ketika warga tak lagi merasa aman, bahkan di kantor polisi, maka sudah waktunya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem dan kultur kerja di lingkungan kepolisian.
Kritik dari Pengamat dan Akademisi
Pengamat hukum dari Universitas Andalas, Dr. Radian Syam, menilai insiden ini mencerminkan lemahnya kultur tanggap darurat di tubuh kepolisian. "Pembiaran terhadap kekerasan di lingkungan institusi penegak hukum bukan sekadar kelalaian, tapi bentuk kegagalan sistemik. Jika polisi yang bertugas tidak mampu bertindak cepat di kantornya sendiri, bagaimana dengan perlindungan di ruang publik lainnya?" ujarnya.
Senada dengan itu, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Andika Saputra, menyebut kejadian ini sebagai bentuk "krisis kepercayaan yang nyata". Ia menekankan pentingnya reformasi mental di tubuh Polri. "Kita terlalu sering melihat tindakan reaktif, tapi jarang melihat ada upaya proaktif. Padahal, rasa aman tidak datang dari sanksi, melainkan dari budaya keberpihakan terhadap korban," katanya.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa, premanisme bisa hadir di mana saja, bahkan di ruang yang seharusnya steril dari ancaman. Dan lebih buruk lagi, bisa terjadi tanpa perlawanan berarti dari mereka yang memiliki kewenangan untuk mencegahnya.
Perlu Tindakan Lebih dari Sekadar Rotasi
Institusi kepolisian perlu merebut kembali kepercayaan masyarakat, bukan hanya dengan sanksi administratif, tetapi juga melalui penegakan hukum yang konsisten dan berani. Penanganan tuntas terhadap pelaku pengeroyokan dan pengusutan menyeluruh terhadap unsur pembiaran, harus menjadi prioritas. Ini bukan hanya soal satu kasus, tetapi soal komitmen untuk menjadikan hukum sebagai pelindung warga negara, bukan sekadar lambang di dinding kantor.
Dalam negara hukum, rasa aman bukanlah kemewahan. Ia adalah hak dasar setiap warga. Dan kantor polisi, semestinya menjadi tempat pertama yang dicari saat ancaman datang—bukan justru menjadi tempat terakhir sebelum kekerasan terjadi.