|
PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
| POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR | ||||
Editor : Apitrajaya | Penulis : Rizky Suryarandika
JAKARTA - Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (Komjak) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyuarakan penolakan terhadap penggunaan karya jurnalistik sebagai barang bukti dalam kasus pidana, khususnya terkait dugaan perintangan penyidikan.
Ketua Komjak, Pujiyono Suwadi, menegaskan bahwa produk jurnalistik tidak bisa dikategorikan sebagai delik dalam perkara obstruction of justice. Menurutnya, pers justru memainkan peran penting dalam mengawasi kinerja aparat penegak hukum.
"Produk media produk jurnalistik sekejam apa pun, senegatif apa pun itu tidak bisa dijadikan sebagai delik termasuk delik obstruction of justice," kata Pujiyono dalam diskusi Iwakum bertajuk 'Revisi KUHAP dan Ancaman Pidana: Ruang Baru Abuse of Power' di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (2/5/2025).
Pernyataan ini merespons penetapan Direktur Pemberitaan JakTV, Tian Bahtiar, sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan perintangan penyidikan perkara korupsi timah dan impor gula. Dalam konferensi pers sebelumnya, Kejagung menyebut sejumlah pemberitaan menjadi bagian dari alat bukti dalam kasus tersebut.
Pujiyono menilai langkah tersebut berpotensi mengaburkan batas antara kerja jurnalistik dan tindakan pidana. Ia menekankan, peran media sebagai pilar demokrasi tak boleh dikriminalisasi.
"Kewenangan aparat hukum sangat besar. Tanpa pengawasan dari publik dan media, bisa rawan disalahgunakan. Jurnalisme itu bagian dari sistem check and balance," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tuduhan terhadap Tian bukan karena konten jurnalistik yang diproduksinya, melainkan karena posisinya sebagai pejabat struktural dalam redaksi.
"Produk jurnalistiknya tidak termasuk dalam delik. Ada alat bukti lain yang digunakan penyidik. Itu pun, Dewan Pers juga sudah menyatakan bahwa berita-berita tersebut bukan unsur pidana," jelasnya.
Sikap serupa disampaikan AJI. Ketua Divisi Advokasi AJI, Erick Tandjung, mengaku heran dengan langkah Kejagung yang menjadikan berita sebagai bukti dalam menetapkan Tian sebagai tersangka.
"Kami kaget. Kejaksaan terlalu jauh menjadikan pemberitaan sebagai dasar menjerat seorang jurnalis dengan delik perintangan penyidikan," ujar Erick saat dikonfirmasi terpisah.
Menurut Erick, jika praktik semacam ini dibiarkan, maka bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia.
Sumber: Republika