|
PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
| POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR | ||||
PARIAMAN – Di ruang sidang Pengadilan Negeri Kelas IIB Pariaman, udara terasa berat. Tangis dan kemarahan menggantung di antara setiap kata yang dilafalkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat membacakan tuntutan: hukuman mati untuk Indra Septiarman alias In Dragon, terdakwa pemerkosa dan pembunuh berencana Nia Kurnia Sari.
Nia bukan siapa-siapa bagi sebagian besar kita. Hanya seorang perempuan sederhana, penjual gorengan, yang sehari-hari mengais rezeki dengan keringat dan kesabaran. Namun sejak kepergiannya yang mendadak dan misterius pada 6 September 2024, wajahnya menghiasi lini masa media sosial, menjadi simbol luka bagi banyak perempuan yang merasa tak lagi aman bahkan di negeri sendiri.
Tubuh Nia ditemukan dua hari kemudian, tak bernyawa, tergeletak di perbukitan sunyi. Dunia seolah runtuh bagi keluarganya. Lalu berita datang: pelakunya ternyata seorang residivis yang pernah dipenjara tiga kali untuk kasus asusila, narkotika, dan pencurian. Namanya: In Dragon.
“Perbuatannya sadis, keji, dan telah membuat masyarakat resah. Tidak ada sedikit pun alasan pemaaf,” tegas Kepala Kejaksaan Negeri Pariaman, Bagus Priyonggo, yang memimpin tim JPU dalam sidang pada Selasa (8/7).
Terdakwa hanya menunduk, menerima dakwaan dengan tenang. Melalui kuasa hukumnya, ia menyatakan akan mengajukan pembelaan atau pleidoi pada persidangan berikutnya, 15 Juli.
Kuasa hukum terdakwa, Dafriyon, mencoba memberi bantahan. Menurutnya, jaksa terlalu menekankan aspek penghukuman daripada bukti hukum. Ia menyebut bahwa kematian korban bukan akibat dari alat seperti tali rafia, melainkan tekanan di dada, sebagaimana keterangan ahli forensik. “Tak ada bukti pembunuhan direncanakan,” ujarnya kepada wartawan.
Namun di luar ruang sidang, suara publik terus menggema. Banyak yang tak hanya menginginkan keadilan - mereka ingin kepastian bahwa nyawa seperti Nia tak lagi melayang sia-sia. Mereka ingin penegak hukum tak lagi memberi celah kepada pelaku kekerasan seksual yang berulang kali bebas, hanya untuk kembali menyakiti.
Di mata banyak orang, Nia adalah anak, ibu, atau saudari mereka sendiri. Dan hari ini, tuntutan mati itu bukan sekadar hukuman - ia adalah teriakan diam dari hati yang terluka, dari rasa aman yang dirampas, dari kemanusiaan yang tercabik. *