PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
PENANGKAPAN Nader Thaher setelah 19 tahun buron adalah bukti bahwa hukum, meskipun lambat, tetap bekerja. Kasus ini tidak hanya soal menangkap seorang koruptor, tetapi juga ujian bagi wibawa hukum kita. Ada beberapa hal penting yang perlu menjadi perhatian publik dan pemerintah dalam kasus ini.
Pertama, lemahnya pengawasan terhadap terpidana saat proses hukum berlangsung. Nader melarikan diri setelah bebas demi hukum pada 2006, saat proses kasasi masih berjalan. Ini menunjukkan celah dalam pengawasan terhadap terdakwa yang belum memiliki kekuatan hukum tetap. Seharusnya, ada aturan yang lebih ketat, seperti pencekalan atau pengawasan intensif terhadap terdakwa kasus korupsi yang berpotensi kabur.
Kedua, penangkapan setelah hampir dua dekade mencerminkan kesulitan dalam memburu buronan lintas negara. Nader berpindah-pindah, termasuk ke Singapura. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya kerja sama internasional yang lebih efektif, seperti perjanjian ekstradisi yang solid dengan negara-negara tetangga. Tanpa itu, buronan korupsi akan terus memanfaatkan celah hukum antarnegara.
Ketiga, pentingnya eksekusi aset hasil korupsi. Vonis terhadap Nader mencakup pembayaran uang pengganti sebesar Rp35,97 miliar. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa pemulihan kerugian negara sering terhambat. Penegak hukum harus memastikan bahwa aset Nader yang disita benar-benar digunakan untuk memulihkan kerugian negara, bukan sekadar formalitas putusan.
Keempat, kasus ini harus menjadi momentum untuk meningkatkan efek jera. Hukuman 14 tahun penjara dan denda seharusnya menjadi contoh bahwa kejahatan korupsi tidak berakhir dengan pelarian. Namun, yang lebih penting adalah reformasi sistem hukum agar kasus serupa tidak terus berulang.