|
PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
| POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR | ||||
Pemerintah daerah sesekali berbicara soal digitalisasi parkir, sebagai solusi transparansi. Tapi, apa benar digitalisasi bisa menghentikan mafia parkir? Atau justru hanya akan menjadi alat baru untuk mengatur pembagian jatah lebih rapi di balik layar?
Di tengah keluhan masyarakat yang sudah lama merasa dipalak, Walikota Pekanbaru terpilih, Agung Nugroho, akhirnya menandatangani kebijakan penurunan tarif parkir. Motor yang sebelumnya dikenakan Rp2.000 kini turun menjadi Rp1.000, sementara mobil dari Rp3.000 menjadi Rp2.000.
Kebijakan ini tentu terlihat seperti angin segar, tapi pertanyaannya: apakah ini cukup? Atau ini hanya sekadar pencitraan tanpa solusi nyata terhadap mafia parkir yang sudah mengakar? Karena yang jadi masalah bukan hanya tarifnya, tetapi ke mana aliran uang parkir ini menghilang dan bagaimana sistem ini tetap dijadikan ladang bancakan.
Jangan-jangan, tarif turun hanya untuk membuat rakyat senang sesaat, sementara di belakang layar, para pemain besar tetap menikmati jatah mereka tanpa terganggu. Karena pada akhirnya, bukan sekadar harga yang harus diturunkan, tapi juga sistemnya yang harus dibersihkan dari kerakusan.
Jika sektor parkir dikelola dengan baik, PAD Pekanbaru seharusnya melonjak drastis. Tapi faktanya, laporan pendapatan dari sektor ini masih jauh dari potensi sebenarnya. Maka, satu pertanyaan besar pun muncul: ke mana larinya uang parkir ini?