PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
JAKARTA – Staf Khusus Menteri Pertahanan, Deddy Corbuzier, mengecam aksi sekelompok aktivis yang menerobos rapat pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont pada akhir pekan lalu. Deddy menilai tindakan tersebut sebagai aksi ilegal dan bentuk kekerasan anarkis.
"Bagi kami, gangguan yang terjadi sudah mengarah pada tindak kekerasan anarkis," ujar Deddy dalam pernyataan video yang beredar, Minggu (16/3/2024).
Menurutnya, tindakan tersebut bukanlah bentuk kritik yang membangun, melainkan pelanggaran hukum yang mengancam proses demokrasi. "Kementerian Pertahanan selalu menghargai dan mempertimbangkan segala bentuk kritik dan masukan. Namun, apa yang terjadi kemarin bukan kritik, melainkan tindakan ilegal yang mengganggu jalannya demokrasi," tegasnya.
Deddy juga menegaskan bahwa rapat tersebut berlangsung secara resmi dan konstitusional, serta tidak membahas hal-hal seperti dwifungsi TNI. Ia menepis kekhawatiran bahwa RUU TNI akan menghidupkan kembali konsep tersebut. "Menhan sudah berkali-kali menegaskan bahwa dwifungsi TNI sudah dikubur sejak lama. Bahkan arwahnya pun sudah tidak ada," ujarnya.
Ia juga menyebutkan bahwa dalam rapat tersebut, seluruh fraksi DPR hadir lengkap guna memastikan keputusan yang diambil merupakan representasi suara rakyat.
Protes Koalisi Masyarakat Sipil
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menolak pembahasan tertutup RUU TNI yang digelar Panitia Kerja (Panja) DPR. Wakil Koordinator KontraS, Andrie Yunus, menilai bahwa rapat yang berlangsung secara tertutup mencerminkan kurangnya komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik.
"Pembahasan ini tidak sesuai karena dilakukan secara tertutup. Kami menuntut agar pembahasan RUU TNI dihentikan," ujar Andrie saat menerobos ruang rapat panja.
Tiga orang perwakilan koalisi yang memasuki ruang rapat panja sempat menyerukan penghentian pertemuan, namun segera diamankan oleh petugas pengamanan rapat.
Aksi ini menuai beragam reaksi, dengan pihak Kementerian Pertahanan dan pendukungnya menilai tindakan tersebut sebagai gangguan terhadap proses demokrasi, sementara para aktivis melihatnya sebagai upaya menegakkan transparansi dalam pembuatan kebijakan strategis negara. *
Sumber: Republika