PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
MENARIK wisata ke sebuah daerah memang bukan perkara sepele. Tak cukup hanya bermodal potensi alam. Sebab, tanpa sentuhan yang tepat, potensi sebesar apa pun bisa jadi tidak menarik. Inilah yang terjadi di banyak wilayah - termasuk Riau.
Riau bukan daerah yang miskin cerita. Tapi sejak dua dekade terakhir, provinsi ini lebih sibuk membenahi infrastruktur yang tak kunjung selesai. Jalan-jalan berlubang, dan perhatian yang terbelah membuat pariwisata tertinggal jauh di belakang. Padahal, di tempat lain, ada daerah yang bahkan menjadikan saluran air atau gang sempit sebagai objek wisata yang ramai dikunjungi.
Mengapa Riau tidak bisa? Jawabannya bukan karena tidak ada potensi. Tapi karena tidak tahu caranya. Potensi wisata di Riau ibarat bara api yang terus dibiarkan meredup. Tak ada strategi besar, tak ada langkah nyata. Sekadar berharap wisatawan datang tanpa pernah benar-benar menyiapkan panggungnya.
Bahkan pemerintah daerah pun sebenarnya sudah tahu akar masalahnya. Masrul Kasmy, saat menjabat Plh Sekretaris Daerah Provinsi Riau pernah menyebutkan ada lima persoalan utama yang terus menghambat pariwisata. Mulai dari belum terpenuhinya standar pariwisata berkelanjutan, promosi yang lemah, hingga rendahnya sertifikasi SDM di sektor ini.
“Masih banyak destinasi pariwisata di Riau yang belum penuhi standar,” kata Masrul dalam forum RKPD, awal 2021 silam.
Masalah itu bukan hal baru. Promosi destinasi wisata Riau, selama ini, hanya terdengar di ruang-ruang rapat. Atraksi yang ditawarkan pun tidak banyak berubah. Kreativitas seperti mati suri. Tak banyak yang berani keluar dari pola lama. Kepala Dinas Pariwisata, Roni Rakhmat, bahkan mengakui bahwa promosi masih jadi pekerjaan rumah besar.
Dinas Pariwisata Provinsi Riau seperti terjebak dalam lingkaran masalah yang itu-itu saja. Tiap tahun bicara soal promosi, standar destinasi, dan rendahnya kualitas SDM - tapi tak satu pun terlihat hasil konkret yang mengubah wajah pariwisata Riau. Birokrasi pariwisata di provinsi ini lebih banyak tenggelam dalam laporan dan wacana ketimbang aksi nyata. Alih-alih menjadi penggerak, mereka justru menjadi beban yang menghambat laju sektor yang semestinya bisa menopang ekonomi masyarakat.
Padahal, jika dikelola dengan serius, pariwisata berkelanjutan bisa menjadi kunci. Bukan hanya untuk menjaga lingkungan dan budaya, tapi juga untuk membuka lapangan kerja, menggerakkan UMKM, dan mengangkat ekonomi masyarakat di sekitar destinasi. Tapi harapan itu tak akan pernah terwujud jika instansi yang diserahi tugas terus nyaman dalam kegagalan, dan tidak pernah mau bercermin pada ketertinggalan mereka sendiri.
Pariwisata bukan hanya soal pantai, danau, atau gunung. Ia soal bagaimana membuat orang tertarik untuk datang dan kembali. Soal cerita, kemasan, dan rasa ingin tahu yang dipantik dari kejauhan. Riau punya itu semua. Sejarah Melayu, kekayaan budaya, kuliner, hingga kehidupan sungai yang eksotis. Tapi semua itu hanya diam di tempat.
Ketika daerah lain berlomba menciptakan event dan destinasi buatan yang viral di media sosial, Riau masih berkutat pada pertanyaan lama: kapan siap? Sayangnya, pariwisata tidak bisa menunggu. Dunia terus bergerak, tren terus berubah. Jika tak segera memutus lingkaran diam ini, maka Riau akan terus tertinggal, meski sesungguhnya punya semua yang dibutuhkan untuk menjadi besar. *