PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
KISAH Gus Miftah yang viral beberapa waktu terakhir membuka percakapan penting tentang nilai adab dalam kehidupan publik, khususnya bagi seorang tokoh yang dipercaya memikul tanggung jawab besar. Sebagai utusan khusus Presiden Prabowo, Gus Miftah diharapkan menjadi panutan, baik dalam sikap maupun ucapan. Namun, insiden ucapannya yang merendahkan seorang pedagang kecil justru menimbulkan pertanyaan tentang batasan moral dan etika seorang pemimpin.
Dalam tradisi Nusantara, adab adalah cerminan kehormatan. Ia meliputi tutur kata, tindakan, dan empati kepada sesama. Ketika seorang pemimpin atau figur publik kehilangan adab, kepercayaan masyarakat pun ikut tergerus. Dalam kasus ini, Gus Miftah dianggap melanggar adab karena ucapannya yang kasar, yang kemudian menyulut kemarahan publik dan merusak citranya sebagai ulama sekaligus utusan resmi pemerintah.
Presiden Prabowo Subianto sendiri, dalam banyak kesempatan, menekankan pentingnya mengangkat martabat masyarakat kecil. Oleh sebab itu, tindakan Gus Miftah bukan hanya melukai pedagang kecil, tetapi juga mencederai semangat dan arah kebijakan yang sedang diperjuangkan oleh pemerintah
.Sebagai pemimpin atau tokoh publik, ucapan adalah senjata sekaligus ujian. Kata-kata dapat membangun atau menghancurkan, menciptakan rasa hormat atau sebaliknya, menciptakan jarak dengan rakyat. Dalam posisi seperti Gus Miftah, setiap kata memiliki dampak luas, apalagi di era digital, di mana satu kesalahan kecil dapat membesar dalam hitungan menit.
Kejadian ini mengajarkan bahwa adab dan etika bukanlah atribut opsional, melainkan kewajiban mutlak. Seorang pemimpin harus mampu menahan diri, memilih kata yang bijak, dan memperlakukan siapa pun—termasuk yang paling sederhana dalam strata sosial—dengan penghormatan.