PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
KIEV - Pertempuran antara Rusia dan Ukraina kembali menjadi ajang unjuk kekuatan militer. Kali ini, sebuah pesawat tempur canggih F-16 Viper milik Ukraina dilaporkan hancur akibat serangan senjata Rusia.
F-16V (Viper), atau dikenal juga sebagai F-16 Block 70/72, merupakan varian terbaru dari pesawat tempur multiperan generasi keempat F-16 Fighting Falcon buatan Lockheed Martin. Pesawat ini mengusung teknologi canggih yang memungkinkan integrasi operasional dengan pesawat tempur generasi kelima seperti F-35 dan F-22.
Dengan kemampuan untuk berganti peran misi udara serta mendeteksi dan melacak target dalam segala kondisi cuaca, F-16V dikenal efisien dan berbiaya operasional rendah. Namun, keunggulan tersebut tampaknya belum cukup untuk menghindarkan pesawat ini dari hancur berkeping-keping setelah dihantam artileri Rusia.
Pemerintah Ukraina telah mengonfirmasi hilangnya satu unit F-16 dalam operasi tempur di wilayah timur. Ini merupakan insiden kedua hilangnya F-16 dalam konflik tersebut, setelah kasus serupa terjadi pada Agustus tahun lalu. Tragisnya, kedua kejadian tersebut juga merenggut nyawa pilotnya.
Komando Angkatan Udara Ukraina (UAF), dalam pernyataan yang dipublikasikan melalui Facebook pada 12 April 2025, menyampaikan kabar duka atas gugurnya pilot muda berusia 26 tahun, Pavlo Ivanov. Ia tewas dalam misi tempur menggunakan F-16 Viper.
Presiden Volodymyr Zelenskyy turut membenarkan insiden tersebut, seraya menyebut bahwa laporan militer terkait peristiwa itu tengah disusun guna mengungkap detail penyebabnya.
Baik pernyataan dari UAF maupun dari Presiden Zelenskyy tidak merinci secara jelas lokasi serta penyebab jatuhnya pesawat, sehingga menimbulkan spekulasi publik. Beberapa pihak menduga pesawat itu ditembak jatuh oleh rudal permukaan-ke-udara (SAM) Rusia, sementara lainnya menduga kemungkinan terjadi kesalahan tembak dari pihak sendiri.
Dalam pernyataan resmi, UAF menyampaikan, “Kami mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga Pavlo. Ia gugur dalam pertempuran membela tanah air dari penjajah... Saat ini, para pilot F-16 menjalankan misi dalam kondisi yang sangat sulit, memberikan perlindungan udara dan menyerang posisi musuh.”
Zelenskyy juga menambahkan bahwa pihaknya menunggu laporan lengkap dari militer untuk mengetahui secara pasti penyebab insiden tersebut.
Meski belum dikonfirmasi secara resmi, sejumlah blogger militer Rusia dan media seperti Top War mengklaim bahwa pesawat F-16 tersebut dijatuhkan oleh rudal SAM Rusia, kemungkinan jenis S-300.
S-300 adalah sistem rudal permukaan-ke-udara jarak jauh buatan NPO Almaz yang awalnya dikembangkan oleh Uni Soviet. Sistem ini digunakan untuk menghadang serangan udara dan rudal jelajah, serta masih dioperasikan oleh Rusia, Ukraina, dan sejumlah negara lain termasuk Bulgaria, Yunani, Tiongkok, dan Iran.
Sistem S-300 bekerja secara otomatis, namun tetap bisa dikendalikan secara manual. Radar penargetan akan memberikan data kepada pos komando pusat untuk menyaring target palsu dan menentukan sasaran utama. Jangkauan rudal ini mencapai 40 kilometer dari pos komando.
Adapun generasi penerusnya adalah S-400 (dikenal NATO sebagai SA-21 Growler) yang mulai dioperasikan sejak 28 April 2007.
Di sisi lain, respons internasional atas konflik ini terus berkembang. Utusan Khusus Presiden Amerika Serikat untuk Ukraina, Keith Kellogg, dalam wawancaranya dengan The Times yang dikutip oleh kantor berita Rusia TASS, mengusulkan pembagian wilayah Ukraina demi menghentikan pertempuran—mirip pembagian Berlin pasca-Perang Dunia II.
Menurut Kellogg, zona kendali dapat dibagi antara pasukan Rusia dan kekuatan Eropa seperti Inggris dan Prancis. Pasukan Eropa akan mengendalikan wilayah barat Ukraina sebagai "pasukan penjamin perdamaian", sementara Rusia tetap menguasai wilayah timur seperti saat ini.
Kellogg menyatakan bahwa pasukan Ukraina akan ditempatkan di antara kedua pihak untuk menjaga zona demiliterisasi di sepanjang garis kontrol yang ada. “AS tidak akan mengirimkan pasukan darat dalam skenario ini,” tegasnya.
Namun, Rusia melalui Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov, menanggapi dengan keras. Ia menyatakan bahwa kehadiran pasukan NATO dalam bentuk apa pun di wilayah Ukraina merupakan ancaman serius bagi Rusia dan tidak akan ditoleransi dalam kondisi apa pun. *
Sumber: Republika