PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
JAKARTA - Kejaksaan Agung menetapkan tiga hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi yang mencoreng integritas lembaga peradilan. Ketiganya diduga menerima uang dalam jumlah fantastis — Rp60 miliar— untuk mengatur vonis lepas (onslagh) dalam perkara korupsi izin ekspor crude palm oil (CPO) tahun 2022.
Ketiga hakim tersebut adalah Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. Mereka ditahan usai ditetapkan sebagai tersangka oleh tim penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Senin (14/4/2025) dini hari. “Ketiganya diduga kuat menerima suap untuk mempengaruhi putusan perkara yang sedang mereka tangani,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar dalam konferensi pers.
Kasus bermula dari permintaan seorang pengacara bernama Ariyanto, yang mewakili tiga perusahaan sawit — Permata Hijau Group, Musim Mas Group, dan Wilmar Group — yang sedang diadili atas kasus korupsi ekspor CPO. Ariyanto diduga meminta bantuan Wahyu Gunawan, panitera muda perdata di PN Jakarta Utara, untuk menjembatani urusan dengan hakim. Ia awalnya menawarkan Rp20 miliar agar perkara diputus lepas.
Namun, tawaran itu kemudian naik drastis menjadi Rp60 miliar setelah permintaan dari Muhammad Arief Nuryanta, Ketua PN Jaksel yang saat itu menjabat Wakil Ketua PN Tipikor Jakpus. Uang dalam bentuk dolar AS itu lalu mengalir melalui Wahyu Gunawan dan didistribusikan ke para hakim.
Setelah menerima uang, Arief Nuryanta diduga menyusun komposisi majelis hakim untuk memimpin perkara tersebut, dengan menunjuk Djuyamto sebagai ketua, serta Agam dan Ali sebagai anggota majelis. Mereka disebut mendapat “uang baca berkas” senilai Rp4,5 miliar yang dibagi rata. Pada tahap selanjutnya, Djuyamto disebut menerima Rp6 miliar, Agam Rp4,5 miliar, dan Ali Rp5 miliar.
Kasus ini tak hanya menyeret tiga hakim tersebut, tapi juga empat orang lainnya: Muhammad Arief Nuryanta, Wahyu Gunawan, serta dua pengacara — Ariyanto dan Marcella Santoso. Semuanya kini mendekam di tahanan Kejagung untuk proses penyidikan lebih lanjut.
Puncak dari skandal ini terjadi pada 19 Maret 2025, saat majelis hakim secara resmi membacakan vonis lepas terhadap ketiga korporasi sawit. Putusan itu menjadi tanda bahwa uang telah berbicara lebih nyaring ketimbang keadilan. *
Sumber: Republika