PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
JAKARTA – Warga Pulau Rempang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB) mendatangi Komisi VI DPR RI, Senin (28/4/2025), menyuarakan penolakan mereka terhadap proyek Rempang Eco City yang semula berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN).
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang dipimpin oleh Nurdin Khalid, warga menyampaikan bahwa proyek ini telah menimbulkan penderitaan. Sejak diumumkan, masyarakat mengalami intimidasi, kekerasan, kriminalisasi, hingga terganggunya mata pencaharian. Nelayan tak lagi tenang melaut, kebun-kebun terbengkalai, dan kehidupan kampung berubah mencekam.
Setidaknya 86 warga menjadi korban penangkapan selama rentetan aksi sejak September 2023, sebagian besar dijadikan tersangka. Kekerasan juga terus berulang, termasuk insiden pemukulan terhadap lansia dan penyerangan pos warga oleh petugas keamanan PT Makmur Elok Graha (MEG), pengelola proyek, pada Desember 2024.
Warga juga mengkritik Badan Pengusahaan (BP) Batam yang dinilai tidak transparan soal data relokasi. Menurut mereka, klaim pemerintah tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Bahkan Ombudsman RI pun disebut kesulitan mengakses data tersebut.
"Yang kami alami bukan relokasi, tapi penggusuran yang dibungkus dengan istilah baru: transmigrasi lokal," ujar salah satu perwakilan warga.
Dalam forum tersebut, warga menyampaikan tujuh tuntutan, di antaranya: membatalkan proyek Rempang Eco City, menghentikan kekerasan dan kriminalisasi, mengusir PT MEG dari Rempang, serta mengakui hak atas tanah masyarakat adat.
Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang menyatakan proyek ini sejak awal tidak melibatkan warga. Pengacara Edy K Wahid menegaskan, "Tak ada pengakuan terhadap hak masyarakat, bagaimana bisa bicara musyawarah?"
Senada, Ahmad Fauzi menyoroti keberadaan Keppres No. 41 Tahun 1973 yang memberi BP Batam kendali atas tanah di Pulau Batam. "Karena aturan itu, masyarakat dianggap tak pernah ada," katanya.
WALHI Riau juga menilai proyek ini belum menunjukkan kajian lingkungan yang memadai. "Pulau kecil seperti Rempang tidak boleh dibebani proyek yang berpotensi merusak daya dukung lingkungan," kata Eko Yunanda. Ia mengingatkan bahwa pembangunan PLTS dan pabrik kaca bisa mengancam ekosistem laut dan ketahanan pangan lokal.
Anggota Komisi VI DPR, Rieke Diah Pitaloka, menyambut baik penghapusan status PSN proyek Rempang melalui Perpres No. 12 Tahun 2025. Ia mendesak audit BP Batam dan penyelidikan atas dugaan korupsi. "Tidak ada satu agama pun yang membenarkan perampasan tanah warga," tegasnya.
KontraS juga meminta evaluasi total terhadap keterlibatan aparat dalam proyek ini dan menuntut pertanggungjawaban pelaku kekerasan non-negara yang selama ini terlibat dalam intimidasi terhadap warga.
Komisi VI DPR sendiri telah membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk menyelidiki konflik lahan di Batam. Tim dijadwalkan akan turun langsung ke Rempang pada 15–17 Mei 2025. *