PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
PEKANBARU – Dugaan penyimpangan anggaran perjalanan dinas di lingkungan Sekretariat DPRD Riau kembali mencuat. Setelah kasus serupa pada tahun 2020 dan 2021 yang ditaksir merugikan negara hingga Rp195,9 miliar, temuan terbaru dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan indikasi korupsi yang tak kalah besar pada tahun anggaran 2022.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Riau tahun 2022 mengungkap adanya praktik Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif dengan nilai yang nyaris sepuluh kali lipat dari temuan pada tahun 2020. Tahun itu, alokasi APBD untuk perjalanan dinas melonjak tajam, mencapai Rp418,76 miliar — naik sekitar Rp118 miliar dibandingkan tahun 2020.
"Modus SPPD fiktif di lingkungan DPRD Riau ini sudah mengakar. Ia menjadi alat sistematis untuk menggerogoti keuangan daerah," ujar Direktur Lembaga Anti Korupsi Riau (LAKR), Armilis Ramaini, Senin (23/6) di Pekanbaru.
Armilis menjelaskan, pada tahun 2022, ditemukan praktik SPPD ganda di Sekretariat DPRD Riau dengan nilai mencapai Rp467,89 juta. Jumlah ini melonjak drastis dibandingkan tahun 2020 yang hanya sekitar Rp51,9 juta. "Angka ini belum termasuk temuan dari sembilan OPD lain, yang totalnya mencapai Rp591,89 juta — dan Sekretariat DPRD Riau menyumbang sekitar 75 persen dari keseluruhan nilai itu," jelasnya.
Dalam LHP BPK tersebut, lanjut Armilis, setidaknya ada lima pola penyimpangan yang ditemukan:
Perjalanan dinas yang tidak benar-benar dilakukan, meski anggaran telah dicairkan.
Nama pegawai tercantum dalam manifes kegiatan, padahal tidak ikut serta.
Pembengkakan pembayaran biaya penginapan.
Jadwal perjalanan ganda dalam hari yang sama.
Dokumen pertanggungjawaban yang tidak lengkap atau tidak sah.
"Kelima pola ini secara terang benderang menunjukkan upaya sistematis menguras anggaran. Praktik ini diduga melibatkan sejumlah oknum di lingkungan Sekwan serta unsur pimpinan dan anggota DPRD Riau," kata Armilis.
Besarnya nilai anggaran yang dialokasikan dan masifnya temuan pada tahun 2022 menunjukkan potensi kerugian negara yang bisa menembus puluhan miliar rupiah. Bahkan, menurut Armilis, besar kemungkinan kerugian kali ini melebihi yang terjadi pada tahun 2020, sebab selain nilai anggaran yang membengkak, modus penyimpangan juga semakin beragam dan tersusun rapi.
Yang lebih mencengangkan, terang Armilis, praktik SPPD fiktif juga menyasar tenaga harian lepas (THL) dan pegawai honorer. Nama-nama mereka digunakan sebagai pelengkap administrasi perjalanan dinas fiktif. Padahal, dalam praktiknya, mereka tidak pernah berangkat. "Mereka hanya diberi uang sagu hati, sedangkan uang negara dikuras oleh para pejabat untuk kepentingan pribadi. Ini adalah bentuk perampasan terselubung yang memalukan," tegasnya seperti dikutip klikbuser.com
Menurut Armilis, pola penelusuran kasus tahun 2022 seharusnya bisa lebih mudah dilakukan, karena pembayaran perjalanan dinas dilakukan secara langsung ke rekening masing-masing. Apalagi, adanya Peraturan Gubernur yang membolehkan THL melakukan perjalanan dinas dengan izin pimpinan DPRD, membuka celah bagi penyalahgunaan wewenang.
“Sudah saatnya aparat penegak hukum bertindak cepat dan tegas. Korupsi ini bukan hanya soal angka, tetapi juga soal penghianatan terhadap amanah rakyat,” tutupnya. *