POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR
Home Inspiratif

One Piece: Kisah Bajak Laut, Kebebasan, dan Perlawanan terhadap Ketidakadilan

Jumat, 1 Agustus 2025 | 21:28:46 WIB
Editor : Rea | Penulis : Pitrajaya
One Piece: Kisah Bajak Laut, Kebebasan, dan Perlawanan terhadap Ketidakadilan

Di sebuah dunia yang dikuasai oleh kekuatan besar dan sistem yang tidak selalu berpihak pada kebenaran, seorang anak muda bernama Monkey D. Luffy memulai perjalanannya. Ia tidak membawa pasukan, tidak berasal dari keluarga bangsawan, dan tak memiliki gelar apa pun. Yang ia punya hanyalah sebuah topi jerami, tubuh elastis akibat buah iblis yang dimakannya, dan mimpi besar: menjadi Raja Bajak Laut.

One Piece, manga dan anime legendaris karya Eiichiro Oda, pertama kali muncul pada 22 Juli 1997 di majalah Weekly Shōnen Jump Jepang. Sejak saat itu, ia tumbuh menjadi salah satu karya fiksi paling berpengaruh di dunia. Dengan lebih dari 500 juta kopi manga terjual secara global, One Piece bukan sekadar cerita petualangan di laut—ia telah menjadi bagian dari budaya global.

Dalam dunia One Piece, kata “bajak laut” bukan berarti penjahat brutal yang hanya merampas dan merusak. Justru sebaliknya, banyak bajak laut dalam cerita ini adalah simbol kebebasan, perlawanan, dan kemanusiaan. Mereka menolak tunduk pada kekuasaan yang korup, menentang sistem yang menindas, dan berlayar demi mimpi serta prinsip hidup yang mereka yakini.

Baca :

Luffy, tokoh utama cerita, tidak memiliki ambisi untuk menguasai dunia. Ia hanya ingin menjadi yang paling bebas di lautan—menjadi Raja Bajak Laut bukan karena kekuasaan, tapi karena itu adalah lambang tertinggi dari kebebasan sejati.

Selama petualangannya, Luffy membentuk kru Bajak Laut Topi Jerami, terdiri dari orang-orang yang memiliki masa lalu penuh luka dan impian besar. Mereka adalah Zoro, pendekar pedang yang ingin menjadi yang terkuat; Nami, gadis pemetaan yang pernah dijajah oleh bajak laut kejam; Usopp si penakut yang ingin menjadi pemberani; Sanji, koki yang bercita-cita melihat dunia; dan banyak lagi. Setiap dari mereka membawa bekas luka dari ketidakadilan, dan mereka memilih untuk melawan—dengan caranya sendiri.

Di balik petualangan dan humor yang menghibur, One Piece sarat dengan kritik terhadap kekuasaan, penindasan, dan manipulasi kebenaran. Cerita ini memperlihatkan bagaimana Pemerintah Dunia—sebuah organisasi global dalam dunia One Piece—tidak selalu bertindak demi kebenaran. Mereka menutupi sejarah, memanipulasi informasi, menindas yang lemah, dan mempertahankan stabilitas dengan cara apa pun—even if it means silencing justice.

Dalam beberapa arc penting, seperti Alabasta, Enies Lobby, Dressrosa, dan Wano, Luffy dan krunya berkali-kali berhadapan dengan penguasa-penguasa lokal yang sewenang-wenang, serta struktur kekuasaan yang menciptakan ketimpangan dan penderitaan. Mereka melawan bukan karena diperintah, tapi karena tidak tahan melihat orang biasa disiksa oleh kekuasaan yang semena-mena.

Lebih dari Sekadar Bendera Hitam
Setiap kru bajak laut dalam One Piece memiliki Jolly Roger—bendera hitam bertengkorak yang menjadi simbol identitas mereka. Namun di tangan Eiichiro Oda, simbol ini tidak digambarkan sebagai tanda kejahatan. Sebaliknya, Jolly Roger adalah simbol dari mimpi, kebebasan, dan perlawanan.

Topi Jerami milik Luffy, misalnya, adalah lambang dari cita-cita dan warisan semangat kebebasan. Dalam cerita ini, banyak bajak laut yang bukan kriminal, melainkan orang-orang yang menolak untuk diperintah oleh kekuasaan yang korup.

Jolly Roger adalah tanda bahwa seseorang telah memilih jalannya sendiri—meski jalur itu dianggap menyimpang oleh sistem yang dominan. Dan karena itulah, simbol ini begitu kuat dan relevan di dunia nyata.

Lebih dari dua dekade sejak pertama kali diterbitkan, One Piece tidak hanya hidup di dalam halaman manga atau layar kaca. Ia hidup di hati pembacanya, khususnya mereka yang pernah merasakan bagaimana rasanya tidak dianggap, tidak didengarkan, dan tidak mendapat tempat yang adil dalam sistem.

Hari ini, ketika Jolly Roger dikibarkan di belakang truk-truk milik sopir dan pekerja kecil di Indonesia, kita sedang menyaksikan bagaimana kisah fiksi telah menjelma menjadi simbol perlawanan sosial. Simbol itu tidak bicara tentang kekacauan, melainkan tentang harapan. Tentang semangat untuk tidak tunduk begitu saja terhadap keadaan, dan keberanian untuk tetap bermimpi di tengah dunia yang sering tidak berpihak. *


Pilihan Editor
Berita Lainnya
olahraga
Pastoor Sindir PSSI: Indonesia Masih Jauh dari Level Piala Dunia
Selasa, 21 Oktober 2025 | 19:59:56 WIB
pasar
Purbaya Bongkar 15 Pemda yang Paling Banyak Simpan Dana di Bank
Selasa, 21 Oktober 2025 | 11:38:58 WIB
Pasar
Wajah
Dipercaya Gubri Jabat Kadis PMD Riau, Ini Harapan Mhd Firdaus
Dipercaya Gubri Jabat Kadis PMD Riau, Ini Harapan Mhd...
Jumat, 19 September 2025 | 23:14:21 WIB
Artikel Popular
politikus
Jazuli: Nilai Undang Undang Pemilu Perlu Revisi
Jazuli: Nilai Undang Undang Pemilu Perlu...
Jumat, 3 Januari 2025 | 16:30:00 WIB
Politik
Bawaslu Kampar Berharap Lahir Kerjasama Kedua Pihak
Bawaslu Kampar Berharap Lahir Kerjasama Kedua...
Rabu, 15 Oktober 2025 | 23:50:18 WIB
Riau dan Gagalnya Mimpi Wisata
Riau dan Gagalnya Mimpi Wisata
Senin, 5 Mei 2025 | 11:59:34 WIB
Tradisi Unik yang Penuh Makna dan Keseruan
Tradisi Unik yang Penuh Makna dan Keseruan
Minggu, 16 Maret 2025 | 10:04:32 WIB
Bali Destinasi Wisata Nomor Satu di Asia-Pasifik
Bali Destinasi Wisata Nomor Satu di Asia-Pasifik
Kamis, 13 Maret 2025 | 11:56:04 WIB