PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
JAKARTA – Sudah enam tahun berlalu sejak Mahkamah Agung memutuskan vonis 1 tahun 6 bulan penjara terhadap Silfester Matutina, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) dan relawan Presiden Joko Widodo. Namun hingga kini, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tak juga mengeksekusi keputusan tersebut.
Silfester dinyatakan bersalah dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, pada 2019. Putusan inkrah itu terbit di tingkat kasasi, tapi seolah hilang ditelan waktu. Tak ada tanda-tanda penahanan. Tak ada kepastian hukum. Yang muncul justru tanda tanya besar: ada apa dengan Kejari Jaksel?
Mantan jaksa senior Jasman Panjaitan menduga keterlambatan ini bisa saja bersumber dari persoalan administratif. Ia menjelaskan, jaksa hanya bisa mengeksekusi jika sudah menerima salinan resmi putusan dari MA. Jika belum, proses pemanggilan hingga penahanan tak bisa dilakukan. Namun Jasman juga mengingatkan, masyarakat berhak tahu siapa yang sebenarnya lalai: MA atau Kejari?
Namun dugaan tak berhenti di situ. Pakar hukum pidana Asman Syahputra menilai kasus ini tak lagi sekadar soal teknis. Ia mencium aroma intervensi politik. Baginya, penundaan hingga enam tahun tanpa alasan yuridis yang jelas adalah kejanggalan besar.
“Kalau sudah inkrah, wajib dieksekusi. Tidak bisa ditawar-tawar. Kalau ini terus dibiarkan, publik berhak curiga ada kekuatan politik yang bermain di balik layar,” ujarnya tegas.
Asman bahkan mendorong Kejari segera menerbitkan SP3P (Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan) tanpa perlu menunggu tiga kali panggilan seperti prosedur normal. Menurutnya, dalam kasus yang menjadi sorotan publik, kejaksaan semestinya bisa bertindak lebih cepat dan transparan demi menjaga marwah hukum.
Kini, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan berada di titik krusial. Diam berarti membiarkan hukum kehilangan wibawa. Lamban berarti membiarkan rakyat berpikir: hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. *