|
PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
| POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR | ||||
LUPAKAN Jepang — Indonesia kini bisa menjadi rival terbesar Australia di Asia. Kedua tim akan kembali bertemu dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2026 yang krusial di Sydney, Kamis ini. Samurai Biru mungkin sudah berada di level yang jauh lebih tinggi dalam berbagai aspek, sehingga mereka hampir pasti akan menjadi tim pertama yang mengamankan tiket ke Amerika Utara minggu ini. Sementara itu, pertarungan sengit terjadi di bawah mereka, dengan Australia dan Indonesia berpotensi saling mendorong untuk mencapai level yang lebih tinggi.
Sekilas melihat Grup C sudah cukup untuk memahami dinamika ini. Dengan enam dari sepuluh pertandingan telah dimainkan, Jepang unggul sembilan poin di puncak klasemen. Namun, selisih antara Australia di peringkat kedua dan China yang berada di posisi keenam hanya satu poin. Dengan satu tempat otomatis sudah hampir pasti menjadi milik Jepang, lima tim lainnya kini bertarung sengit untuk memperebutkan satu tiket tersisa. Meski demikian, tim yang finis di peringkat ketiga dan keempat masih memiliki kesempatan melalui babak play-off demi dua tiket tambahan ke turnamen yang kini diperluas menjadi 48 tim.
Bagi Indonesia, hanya mencapai babak ketiga kualifikasi ini sudah menjadi pencapaian luar biasa beberapa tahun lalu. Namun, ambisi mereka kini jauh lebih besar. Hal itu terlihat dalam hasil imbang tanpa gol yang mereka raih melawan Australia di Jakarta pada September lalu. Sejak saat itu, Australia mengalami perubahan dengan mundurnya Graham Arnold sebagai pelatih kepala dan digantikan oleh Tony Popovic. Namun, perubahan lebih besar terjadi di kubu Indonesia, yang menggantikan Shin Tae-yong dengan Patrick Kluivert pada Januari lalu. Pertandingan di Sydney akan menjadi laga debut mantan penyerang Barcelona itu sebagai pelatih timnas Indonesia—posisi yang diberikan kepadanya karena hubungan erat sepak bola Indonesia dengan Belanda. Program naturalisasi yang agresif juga masih terus berlangsung, dengan pemain-pemain baru yang rutin menuju kedutaan besar Indonesia di Eropa untuk mendapatkan paspor.
Bayangkan jika pada tahun 2006, saat Australia baru bergabung dengan sepak bola Asia, seseorang mengatakan kepada Tim Cahill, Mark Viduka, atau Harry Kewell bahwa kurang dari dua dekade kemudian, Indonesia akan datang ke Sydney untuk kualifikasi Piala Dunia dengan jumlah pemain berbasis Eropa lebih banyak dibandingkan tuan rumah. Mereka mungkin akan menganggap itu sebagai lelucon. Namun, faktanya kini demikian. Tak ada lagi rasa takut, tak ada lagi inferioritas, tak ada lagi kekhawatiran akan duel fisik. Dari segi pengalaman di Eropa, para pemain Indonesia kini setara dengan pemain Australia—hanya saja, mereka masih harus mengejar ketertinggalan dalam hal pengalaman di level sepak bola Asia.
Tantangan jangka panjang bagi Indonesia adalah membuktikan bahwa perubahan ini berdampak positif bagi liga domestik mereka—sesuatu yang lebih mudah dilakukan selama impian tampil di Piala Dunia masih terlihat di depan mata. Dalam jangka pendek, tugas Kluivert adalah melanjutkan pondasi yang sudah dibangun pendahulunya dari Korea Selatan. Hal itu bukan tugas yang mustahil, terutama karena ia dapat berkomunikasi dengan sebagian besar pemainnya dalam bahasa yang sama. Resume kepelatihannya mungkin belum sebanding dengan prestasinya sebagai pemain, tetapi membawa Indonesia ke Piala Dunia untuk kedua kalinya—setelah terakhir kali tampil pada 1938 sebagai Hindia Belanda—akan menjadi pencapaian yang luar biasa.
Bagi Australia, kekalahan di kandang dari Indonesia akan menyakitkan. Namun, di sisi lain, itu juga akan menjadi sinyal bahwa kedua negara tetangga ini mampu saling mendorong menuju level yang lebih tinggi. Alih-alih terus membandingkan diri dengan negara di seberang Samudra Pasifik, Australia bisa melihat langsung ke arah barat laut, melintasi Laut Timor, untuk menemukan rival yang tepat.
Peningkatan hubungan dengan Indonesia juga bukan sekadar wacana di atas lapangan. Nilai strategis untuk semakin mendekat ke negara berpenduduk 270 juta jiwa dengan pasar sepak bola yang besar sudah lama dipahami oleh Australia. Kedua negara bahkan sempat mempertimbangkan untuk mengajukan tawaran bersama sebagai tuan rumah Piala Dunia 2034. Saat ini, baik Australia maupun Indonesia sedang bersaing untuk menjadi tuan rumah Piala Asia 2031. Dengan suksesnya Indonesia menyelenggarakan Piala Dunia U-17 FIFA 2023, kerja sama di bidang ini mungkin akan saling menguntungkan. Asosiasi Sepak Bola Indonesia (PSSI) juga tampaknya semakin tertata setelah bertahun-tahun dilanda mismanajemen, korupsi, dan campur tangan politik—menjadikannya mitra yang lebih dapat diandalkan bagi Australia dalam berbagai aspek.
Namun, untuk saat ini, fokus utama bagi Popovic adalah tiga poin di Sydney. Kemenangan akan memperkuat posisi Australia di peringkat kedua, terutama dengan kemungkinan besar Bahrain kalah dari Jepang dan Arab Saudi menghadapi China di laga lain. Jika semua berjalan sesuai rencana, sebelum bertandang ke China minggu depan, Australia bisa unggul tiga poin dengan tiga pertandingan tersisa.
Namun, jika Indonesia mampu mengacaukan rencana Popovic, ada satu hal yang pasti: dalam jangka pendek, masa depan sepak bola Indonesia mungkin masih didominasi warna oranye, tetapi dalam jangka panjang, warna merah dan putih bisa menjadi warna yang lebih akrab bagi Australia ketimbang biru. *
Sumber: theguardian.com