PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
BEBERAPA tahun lalu, wartawan masih menjadi jembatan utama antara pemerintah dan publik. Kini, jembatan itu mulai lapuk. Bukan karena tak dibutuhkan, tetapi karena tak lagi dianggap relevan oleh para penguasa anggaran komunikasi. Peran media, yang dulu vital, kini digeser oleh kamera handphone, lighting studio, dan caption manis di Instagram.
Di berbagai pelosok pemerintahan, dari kementerian sampai kantor lurah, pola yang sama terus berulang: lebih percaya pada influencer ketimbang reporter. Konten yang dikemas apik, ditambah latar musik dan animasi warna-warni, dianggap lebih efektif menjangkau rakyat. Tak ada ruang untuk kritik, tak perlu cek fakta, cukup satu video berdurasi semenit, lalu tayang di TikTok.
Konsekuensinya tak main-main. Media konvensional— yang selama ini menjadi benteng demokrasi—pelan tapi pasti, satu per satu tumbang. Iklan makin sepi, wartawan dikurangi, biro ditutup. Bahkan nama-nama besar seperti Kompas TV, TV One, Anteve, Net TV, TVRI, MNC Grup, Viva.co id, CNN Indonesia TV, tak luput dari badai efisiensi.
Belanja iklan pemerintah, yang dulu menjadi tulang punggung pendanaan media, kini menguap entah ke mana. Data menunjukkan, pada semester pertama tahun 2022, anggaran iklan pemerintah yang masuk ke media hanya sekitar Rp4,4 triliun—anjlok hampir setengah dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp9,8 triliun.
Yang menyedihkan, uang itu bukannya hilang. Ia justru mengalir deras ke platform asing seperti Google, Meta, dan TikTok. Mantan Presiden Joko Widodo bahkan pernah menyampaikan, sekitar 60 persen belanja iklan media di Indonesia kini dikuasai oleh platform luar negeri. Sebuah ironi: negara menggelontorkan uang rakyat, tapi media lokal tak kebagian.