|
PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
| POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR | ||||
YERUSALEM - Microsoft memecat dua insinyur setelah mereka menyuarakan penolakan terhadap keterlibatan perusahaan dalam penggunaan teknologi kecerdasan buatan oleh militer Israel. Salah satunya adalah Ibtihal Aboussad. Ia bekerja di divisi AI Microsoft di Kanada. Pada acara ulang tahun ke-50 perusahaan, ia berdiri dan menyampaikan protes terbuka di depan para petinggi Microsoft.
Ia langsung mengarahkan kritiknya kepada Mustafa Suleyman, CEO Microsoft AI. Suaranya gemetar tapi tegas. “Anda mengklaim AI untuk kebaikan, tapi Microsoft menjual senjata AI ke militer Israel. Lima puluh ribu orang sudah wafat. Dan kalian mendukung genosida,” serunya.
Seketika, suasana menjadi tegang. Petugas keamanan langsung menggiringnya keluar dari lokasi acara. Namun Aboussad belum selesai.
Beberapa jam kemudian, ia mengirimkan email kepada para eksekutif, termasuk Satya Nadella. Dalam surat itu, ia menulis, “Saya tidak mendaftar untuk menulis kode yang melanggar hak asasi manusia.” Ia juga menyisipkan petisi berjudul *No Azure for Apartheid*, yang menyerukan penghentian kerja sama dengan Kementerian Pertahanan Israel.
Reaksi perusahaan dingin dan tegas. Microsoft menyebut tindakannya sebagai pelanggaran berat. Pemecatan, menurut mereka, adalah satu-satunya langkah yang pantas.
Namun Aboussad tidak sendirian. Di acara yang berbeda, seorang insinyur lain bernama Vaniya Agrawal juga menyuarakan penolakan terhadap proyek pertahanan Microsoft. Ia memang sudah berniat mengundurkan diri. Tapi sebelum sempat menyerahkan surat resign, perusahaan mendahuluinya dengan surat pemecatan.
Dalam pernyataan terakhirnya sebagai karyawan, Agrawal berkata, “Microsoft telah berubah menjadi produsen senjata digital. Perusahaan ini mendukung pengawasan, apartheid, dan genosida. Dan dengan tetap bekerja di sini, kita semua ikut terlibat.”
Dua pemecatan ini membuka luka yang lebih dalam. Selama ini, keterlibatan Microsoft dalam konflik Israel-Palestina disembunyikan di balik bahasa teknologi. Tapi kini, laporan demi laporan mengungkap fakta mencengangkan.
Microsoft, melalui platform Azure, telah menyediakan layanan senilai puluhan juta dolar untuk militer Israel. Komputasi awan, penyimpanan data, hingga kecerdasan buatan canggih—semuanya disuplai oleh Microsoft untuk keperluan perang.
Layanan seperti penerjemahan otomatis, analisis dokumen, dan sistem suara ke teks kini menjadi alat bantu bagi operasi militer. Bahkan, model GPT-4 yang dikembangkan OpenAI disebut telah digunakan militer Israel untuk menyisir data intelijen dan menetapkan target serangan.
Sejak pecahnya perang di Gaza pada Oktober 2023, penggunaan Azure di Israel melonjak drastis. Data mencatat peningkatan sebesar 6.300 persen hanya dalam beberapa bulan.
The Guardian melaporkan bahwa Israel membayar jutaan dolar kepada Microsoft. Salah satu tujuannya adalah untuk 19.000 jam pelatihan teknis antara Oktober 2023 hingga Juni 2024.
Lebih mencengangkan lagi, dokumen internal menyebut ada staf Microsoft yang berasal dari Unit 8200. Ini adalah unit intelijen elite militer Israel, yang dikenal luas sebagai otak di balik operasi siber dan pengawasan massal.
Organisasi-organisasi hak asasi manusia kini angkat suara. Mereka menuduh Microsoft terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Teknologi yang dikembangkan perusahaan ini tidak lagi netral. Ia digunakan untuk menindas, memata-matai, dan membunuh.
Apa yang dilakukan Ibtihal dan Vaniya bukan sekadar pemberontakan. Itu adalah panggilan nurani.
Mereka berdiri di tengah gemerlap ulang tahun perusahaan, lalu menyuarakan kebenaran yang banyak orang diamkan.
Di balik kata “inovasi” dan “kemajuan,” ternyata ada nyawa-nyawa yang melayang. Ada tanah yang dijajah. Ada manusia yang kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan.
Ketika AI berubah menjadi alat untuk perang, siapa yang bisa lagi membela diri dengan mengatakan, “Saya hanya menulis kode”?
Sumber: republika