PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
PADANG - Di salah satu sudut mal baru yang megah—dengan lampu sorot terang dan AC yang menderu konstan—tampak sekelompok mahasiswa duduk berjejal di meja pojok sebuah kafe cepat saji. Di atas meja, hanya dua gelas es teh manis dan sepiring kentang goreng. Tapi enam kepala sibuk membungkuk ke layar laptop dan ponsel, sebagian nugas, sebagian lain tertawa kecil menyimak video TikTok.
Tak ada yang istimewa dari pemandangan itu. Di kota-kota besar, ini sudah jadi hal biasa. Tapi di Padang, ini adalah cerminan zaman. Sekarang, yang ramai bukan lagi kasir toko, tapi bangku kafe dan sudut colokan listrik. Mereka adalah bagian dari fenomena yang belakangan disebut "Rojali"—rombongan jarang beli. Datang, duduk, menikmati fasilitas. Tapi dompet nyaris tak dibuka.
Yang mengejutkan justru bukan soal mereka. Tapi soal keberanian para investor yang tetap melaju membangun pusat-pusat perbelanjaan baru di kota ini. Padang, kota dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil tapi tidak eksplosif, justru menjadi lokasi munculnya mal-mal megah—bertingkat, ber-AC, dan tentu saja, sangat "Instagramable."
"Saya sering ke mal, tapi paling cuma beli kopi instan atau jajan hemat. Selebihnya numpang duduk, nugas. Suasananya lebih nyaman dari kos," ujar Reni, mahasiswi Universitas Negeri Padang. Ia tertawa ringan saat ditanya apakah ia termasuk "rojali". "Mungkin iya," katanya. "Tapi saya nggak sendirian."
Ia benar. Sebuah laporan dari BPS Kota Padang menunjukkan bahwa sektor perdagangan besar dan eceran mengalami fluktuasi tajam dalam lima tahun terakhir. Setelah terpuruk pada 2020 dengan pertumbuhan minus 2,09 persen, sektor ini sempat bangkit di tahun berikutnya, lalu kembali melemah di 2023 dan 2024—meski mal terus bermunculan.