PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
Bulan lalu, satu mal besar kembali dibuka di Padang. Tenant-tenant nasional masuk, gerai pakaian dan makanan berjejer rapat. Iklannya gencar, promonya besar-besaran. Tapi di hari pembukaan, antrean panjang justru terjadi di gerai es krim murah. Di dalam department store? Sepi.
"Saya tahu orang-orang datang ke sini bukan buat belanja besar. Tapi kami bangun bukan cuma untuk transaksi. Kami menjual pengalaman," kata seorang pengembang yang terlibat dalam proyek mal tersebut. Ia meminta tak disebutkan namanya karena belum mendapat izin bicara ke media. "Yang penting orang datang, betah, dan mungkin... tergoda."
Kini, model bisnis mal bukan lagi soal toko. Mereka menyewakan ruang ke kafe, coworking, studio yoga, bahkan event kreatif. Mereka menjual tempat, bukan barang. Tapi pertanyaannya tetap sama: apakah ini menjawab kebutuhan masyarakat Padang, atau hanya ambisi kapital yang mengada-ada?
Di luar tembok mal, suasana berbeda. Pedagang kecil merasakan dampak. "Dulu anak-anak kampus sering makan di warung saya. Sekarang banyak yang duduk-duduk di mal. Kalau lapar, ya beli cilok di sana," kata Yusri, pemilik warung nasi di kawasan Jati. "Warung makin sepi. Tapi mal makin ramai, walau mereka juga nggak beli."
Kritik tak datang dari pedagang saja. Dr. Elida Rosdiana, pakar tata kota dari Universitas Andalas, menyebut ini sebagai "paradoks modernisasi yang mereduksi ruang publik." Menurutnya, "Padang adalah kota dengan karakter lokal yang kuat. Kalau semua ruang sosial direbut beton dan pendingin udara, kita kehilangan simpul-simpul kebersamaan."