PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
JAKARTA – Ketua Komisi XIII DPR, Willy Aditya, menolak wacana pembayaran royalti untuk lagu yang diputar atau dinyanyikan dalam acara pernikahan. Sikap ini disampaikannya menanggapi rencana Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Wahana Musik Indonesia (WAMI), yang mengusulkan agar pihak pengantin membayar royalti jika ada pemutaran musik di pesta mereka.
Menurut WAMI, penyelenggara acara pernikahan yang memutar musik berlisensi wajib membayar royalti sebesar 2% dari biaya produksi kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Perhitungan ini mencakup biaya sewa sound system, backline, honor penyanyi atau penampil, serta seluruh pengeluaran lain yang berkaitan dengan musik tersebut.
“Tidak perlu lah masyarakat ditakut-takuti dengan ancaman membayar royalti, karena kegiatan seperti ini tidak memiliki sifat komersial,” ujar Willy dalam keterangannya, Kamis (14/8/2025).
Willy menegaskan, pemutaran lagu berlisensi di acara sosial seperti pernikahan, hiburan warga, atau kegiatan olahraga harus dipandang sebagai bagian dari aktivitas sosial, bukan komersial.
Ia juga menilai, polemik royalti yang berkepanjangan ini sudah menimbulkan dampak sosial dan hukum yang tidak sederhana.
“Ada kesan saling serang antara pengguna yang belum memahami aturan dan pemilik hak yang terkesan mencari celah untuk memanfaatkan situasi. Ini bukan karakter khas budaya Indonesia yang menjunjung gotong royong dan musyawarah,” kata Willy.
Willy mengingatkan, para pendiri bangsa tentu tidak menginginkan anak cucunya saling berhadap-hadapan hanya karena persoalan komersialisasi hak pribadi.
“Lihat saja Undang-Undang Pokok Agraria 1960, yang mengatur fungsi sosial dan kepentingan umum tanah, sekaligus fungsi kapital perorangan. Itu contoh baik,” ujarnya.
Menurutnya, hak cipta memang harus dihormati, namun tidak semua hal harus dikomersialkan, terutama dalam kegiatan sosial.
“Saya setuju hak cipta harus ditempatkan pada posisi yang tinggi, tapi jangan semua aspek kehidupan diubah menjadi nilai komersial. Kita hidup juga dalam lingkungan sosial,” tegasnya.
Willy pun mendorong adanya pengaturan yang jelas dan tegas soal royalti. Saat ini, revisi UU Hak Cipta tengah menjadi pembahasan di Komisi X DPR.
“Pancasila mengajarkan perlindungan hak pribadi dalam hubungan sosialnya. Kita tidak ingin liberalisasi yang menjadikan semua orang saling berebut atau mengeksploitasi satu sama lain,” ucapnya.
Polemik royalti musik semakin memanas dalam beberapa waktu terakhir. LMKN bahkan pernah menggugat jaringan restoran Mi Gacoan dan berujung pada pembayaran royalti sebesar Rp2,2 miliar.
Kasus ini membuat restoran kecil, kafe, dan pelaku UMKM ikut khawatir, apalagi mereka disebut tetap harus membayar royalti meski hanya memutar suara alam seperti kicauan burung. Kekhawatiran bertambah setelah banyak pemilik usaha mengaku menerima ‘surat cinta’ dari LMKN terkait kewajiban pembayaran royalti. *
Sumber: Republika