|
PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
| POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR | ||||
Editor : Putrajaya | Penulis : Rea
Fenomena ini mulai terlihat dari perilaku kelompok kaya yang kini banyak menempatkan asetnya dalam mata uang kuat. “Sekarang, orang kaya kita simpan hartanya dalam dolar, euro, bahkan dolar Singapura,” katanya. “Bahkan arisan sosialita pun sudah pakai dolar AS, ini bentuk nyata currency substitution.”
Syarkawi mengingatkan, jika gejala itu terus dibiarkan, Indonesia berisiko mengalami dollarisasi seperti yang pernah dialami Zimbabwe atau Argentina. “Ketika transaksi dan simpanan makin didominasi dolar, kebijakan moneter Bank Indonesia akan makin kehilangan daya kendali,” ujarnya.
Menurutnya, masalah utama bukan sekadar nilai tukar yang tinggi, tetapi juga ilusi terhadap uang itu sendiri. “Dengan nominal rupiah besar, kita merasa kaya, padahal daya belinya rendah — itulah money illusion,” jelasnya.
Kunjungi BPDP, Bupati Siak Perjuangkan Peremajaan Sawit Rakyat
Rupiah Melemah ke Rp16.676 Senin Sore Ini
Dalam situasi seperti ini, investor tentu menuntut imbal hasil tinggi untuk menahan aset dalam rupiah, sementara harga asetnya justru turun. “Yield-nya tinggi, tapi harganya rendah. Itulah cerminan premi risiko mata uang yang lemah,” ungkapnya.
Pandangan senada disampaikan Ekonom Yanuar Rizky, yang menyoroti anomali pergerakan rupiah. “Bahkan ketika indeks dolar AS melemah, rupiah tetap tertekan. Itu artinya rupiah lebih rentan dibanding mata uang kawasan lain,” ujarnya.