PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
Di tengah desiran angin laut dan bentang alam tropis yang menawan, Pulau Rempang menyimpan kisah getir tentang pembangunan yang melangkahi manusia. Tanah yang telah ditinggali secara turun-temurun oleh masyarakat adat Melayu itu, kini dihadapkan pada ancaman relokasi demi megaproyek investasi bernama Rempang Eco-City. Di balik janji kemajuan dan industrialisasi, muncul ironi: suara masyarakat yang tak didengar, sejarah yang hendak dihapus, dan indikasi kuat kolusi antara segelintir oknum pejabat dan kepentingan pengusaha besar.
Pulau Rempang bukan sekadar tanah; ia adalah saksi bisu dari perjalanan panjang kehidupan masyarakatnya. Selama lebih dari dua abad, mereka hidup berdampingan dengan alam, menjaga tradisi, dan membangun ikatan sosial yang erat. Namun, seiring dengan masuknya rencana pembangunan kawasan industri yang melibatkan PT Makmur Elok Graha (MEG) dan BP Batam, kenyataan pahit mulai terkuak. Masyarakat yang sebelumnya menjadi pemilik sah atas tanah tersebut, kini dihadapkan pada ancaman kehilangan tempat tinggal mereka demi proyek yang kini tak lagi berstatus sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah.
Menurut Fadhil Al-Baghir, pengamat kebijakan publik, "Pembangunan memang perlu, tetapi harus memprioritaskan kesejahteraan masyarakat lokal. Mengorbankan mereka demi pembangunan jangka pendek yang tidak menguntungkan rakyat adalah kebijakan yang keliru." Ini menjadi sorotan utama dalam proyek Rempang, di mana masyarakat adat tidak hanya berjuang untuk mempertahankan tanah mereka, tetapi juga untuk hak hidup yang layak.
Tidak dapat dipungkiri, ada celah-celah di dalam sistem yang memungkinkan terjadinya ketidakadilan. Pengusaha besar dan oknum pejabat yang diduga memiliki kepentingan dalam proyek ini, sering kali mengabaikan proses dialog yang seharusnya melibatkan warga setempat. Komunikasi yang buruk, minimnya transparansi, serta kurangnya rasa empati terhadap kondisi sosial masyarakat setempat menjadi isu utama yang memicu ketegangan. Ombudsman RI dalam laporan mereka menemukan empat bentuk maladministrasi, yang menunjukkan adanya ketidakberesan dalam prosedur yang diambil oleh pemerintah dan pihak swasta.
Ironisnya, meskipun proyek ini mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, pemerintah terkesan tetap melanjutkan rencana pembangunan tanpa adanya perubahan signifikan dalam pendekatannya terhadap warga. Bukannya mendengarkan keluhan mereka, warga justru harus berhadapan dengan aparat keamanan yang diterjunkan untuk melakukan pengosongan paksa. Bentrokan yang terjadi pada September 2023, yang mengakibatkan banyak warga terluka, hanya memperburuk citra proyek ini di mata publik. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah pembangunan ini benar-benar untuk kemaslahatan rakyat, atau justru lebih menguntungkan segelintir pihak?