PEKANBARUEXPRESS
|
![]() |
|||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mencabut perintah pengerahan personel militer untuk pengamanan di seluruh kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di Indonesia.
Desakan ini merespons Telegram Panglima TNI Nomor ST/1192/2025 tertanggal 6 Mei 2025, yang memerintahkan prajurit TNI menjaga kompleks kejaksaan. Dalam pernyataan pers, Minggu (11/5), Koalisi menyebut kebijakan tersebut bertentangan dengan konstitusi serta sejumlah undang-undang, termasuk UU TNI, UU Pertahanan Negara, dan UU Kekuasaan Kehakiman.
“Pengerahan seperti ini mengindikasikan kian terbukanya ruang intervensi militer di sektor sipil, terutama dalam penegakan hukum,” ujar Ketua YLBHI, M. Isnur.
Menurut Isnur, tugas TNI seharusnya terbatas pada urusan pertahanan negara dan tidak masuk ke wilayah yang menjadi domain institusi penegak hukum sipil seperti Kejaksaan. Ia juga menyoroti belum adanya aturan rinci mengenai Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang bisa menjadi dasar pengerahan ini.
Koalisi menilai nota kesepahaman antara TNI dan Kejaksaan yang dijadikan dasar kerja sama, tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup untuk mengatur pengerahan militer dalam pengamanan institusi sipil. Bahkan, disebut telah melanggar semangat UU TNI yang menegaskan pemisahan fungsi pertahanan dan hukum.
“Jika tidak ada ancaman signifikan, pengamanan Kejati dan Kejari cukup dilakukan oleh satuan pengamanan internal,” ujar Isnur.
Lebih jauh, Koalisi memperingatkan bahwa langkah tersebut dapat mengganggu independensi kejaksaan dan menciptakan tumpang tindih kewenangan antara pertahanan dan penegakan hukum.
Kritik juga diarahkan pada revisi UU TNI yang baru disahkan beberapa bulan lalu, karena dinilai membuka celah kembalinya praktik dwifungsi TNI. “Revisi itu memang memperluas jabatan sipil yang dapat diisi prajurit aktif, tapi penambahan Kejaksaan Agung hanya dimaksudkan untuk posisi Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil), bukan untuk seluruh wilayah kejaksaan,” katanya.
Koalisi pun meminta Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Pertahanan untuk mengambil sikap dan membatalkan telegram tersebut demi menjaga supremasi sipil dan prinsip negara demokratis.
Gabungan koalisi ini terdiri dari puluhan organisasi sipil, antara lain YLBHI, Imparsial, KontraS, Amnesty International Indonesia, ELSAM, HRWG, WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, AJI Jakarta, LBH Jakarta, LBH Pers, dan lainnya.
TNI: Perintah Bersifat Rutin dan Sesuai Struktur
Menanggapi polemik tersebut, TNI Angkatan Darat menyebut surat telegram tersebut merupakan bagian dari kerja sama rutin yang telah berjalan sebelumnya.
Kadispenad Brigjen Wahyu Yudhayana menjelaskan, pengamanan dilakukan dalam konteks dukungan terhadap struktur Jampidmil di Kejaksaan. “Pengamanan ini merupakan bagian dari sinergi yang telah disusun secara hierarkis dan tidak berdiri di luar kerangka hukum,” ujarnya.
Dalam ST tersebut, TNI mengerahkan satu peleton (30 personel) untuk Kejati dan satu regu (10 personel) untuk Kejari. Namun, Wahyu menegaskan bahwa dalam pelaksanaannya, pengamanan dilakukan secara proporsional dengan sistem rotasi, serta hanya melibatkan 2–3 orang per titik sesuai kebutuhan.
“TNI AD akan tetap profesional, proporsional, dan berpegang pada hukum dalam setiap langkahnya,” ujar Wahyu. *