POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR
Home Mancanegara

Israel Semakin Brutal, Sekutu Gerah dan Palestina Berdarah

Rabu, 28 Mei 2025 | 11:40:23 WIB
Editor : Rea | Penulis : Red
Israel Semakin Brutal, Sekutu Gerah dan Palestina Berdarah
Warga sipil Palestina tetap tak berdaya dan tertinggal di tengah reruntuhan setelah serangan udara Israel. Kekerasan terhadap warga sipil Israel dan Palestina yang tidak bersalah harus dihentikan. (© REUTERS/Mohammed Salem)

TINDAKAN militer Israel di Gaza kian brutal. Bahkan, sekutu lamanya seperti Prancis, Inggris, dan Jerman mulai gerah. Serangan terhadap diplomat asing dan ancaman pencaplokan wilayah membuat Tel Aviv makin terlihat sebagai negara yang tak bisa dikendalikan. Tapi yang paling memalukan, negara-negara Arab justru tetap diam.

Eropa mulai kehilangan kesabaran. Prancis, Inggris, dan Jerman — tiga negara yang selama ini menjaga relasi hati-hati dengan Israel — kini membuka suara lebih lantang. Aksi brutal Israel di Rafah dan Gaza bukan hanya menuai kecaman publik internasional, tapi juga telah menyentuh batas toleransi para pemimpin Eropa.

Pemicunya bukan semata jumlah korban sipil, tapi insiden serius beberapa hari lalu, ketika pasukan Israel memberondong konvoi diplomat internasional yang hendak meninjau wilayah kemanusiaan di Palestina. Tindakan itu dianggap sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional, sekaligus tamparan terhadap sekutu-sekutunya sendiri.

Baca :

Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebutnya “serangan terhadap martabat diplomasi dunia”. Pemerintah Inggris meminta penyelidikan independen, sementara Jerman, yang selama ini menjaga “utang sejarah” terhadap Israel pasca-Holocaust, tak lagi bisa menahan desakan masyarakatnya untuk bersikap lebih tegas.

Namun, meski kritik menguat, belum terlihat langkah konkret seperti sanksi atau pemutusan hubungan. Eropa masih terbelah antara kepentingan strategis, tekanan opini publik, dan rasa bersalah historis terhadap Israel.

Negara-Negara Arab Diam, Diplomasi Berputar di Tempat
Jika Eropa mulai bersuara, lain halnya dengan negara-negara Arab. Ketika darah rakyat Palestina mengalir, para pemimpin di Timur Tengah justru terjebak dalam pernyataan retoris dan diplomasi kosong.

Arab Saudi, Mesir, Yordania, hingga Uni Emirat Arab hanya mengeluarkan kecaman standar yang tak diikuti langkah nyata. Tak ada embargo dagang, tak ada pemutusan hubungan diplomatik, tak ada tekanan ekonomi terhadap Israel. Padahal sebagian besar negara Arab memiliki kekuatan finansial dan pengaruh strategis yang cukup untuk menekan Tel Aviv, setidaknya melalui forum-forum multilateral.

Beberapa analis menyebut, sebagian pemimpin Arab kini lebih sibuk dengan agenda domestik dan kepentingan geopolitik baru — seperti normalisasi hubungan dengan Israel demi proyek ekonomi jangka panjang. Di sisi lain, ketakutan akan destabilisasi kawasan dan tekanan dari Amerika Serikat membuat mereka memilih diam. Hasilnya: Palestina seperti dikhianati oleh para saudara sendiri.

Israel Menantang Dunia Tanpa Takut Konsekuensi
Tindakan Israel menyerang diplomat asing menandai eskalasi paling berani dalam agresi mereka. Bukan sekadar serangan militer, ini adalah pernyataan terbuka bahwa Israel tak takut siapa pun — bahkan negara-negara besar yang selama ini menopang eksistensinya.

Tak hanya itu, Benjamin Netanyahu juga terang-terangan menyampaikan ancaman. Jika negara-negara Eropa atau sekutunya mendukung kemerdekaan Palestina secara resmi, maka Israel akan “merapok” wilayah tambahan di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

Ancaman tersebut disampaikan saat media internasional mulai memberitakan rencana Spanyol, Norwegia, dan Irlandia untuk mengakui kemerdekaan Palestina secara resmi. Netanyahu, bukannya menahan diri, justru memperlihatkan posisi ultra-nasionalisnya secara terbuka: bahwa keamanan Israel harus dijaga dengan mencaplok lebih banyak tanah.

Sikap ini membuat banyak kalangan menyebut Netanyahu sebagai ancaman bagi stabilitas global — bukan hanya bagi Palestina, tetapi juga bagi kesepakatan hukum internasional yang sudah puluhan tahun dibangun pasca-Perang Dunia II.

Palestina di Tengah Kepungan Politik Global
Di balik permainan politik tinggi antarnegara, rakyat Palestina tetap menjadi korban utama. Kota Gaza nyaris rata dengan tanah. Rafah yang seharusnya menjadi zona aman berubah menjadi ladang pembantaian. Anak-anak menangis tanpa tahu siapa yang harus mereka salahkan. Rumah sakit kehabisan pasokan. Sekolah-sekolah hancur. Listrik dan air bersih menjadi barang mewah.

Lebih dari 30 ribu warga sipil tewas, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Namun dunia seperti kehilangan empati. Kekerasan yang menimpa Palestina perlahan menjadi statistik di layar televisi — bukan tragedi kemanusiaan yang menggerakkan aksi nyata.

Lembaga-lembaga kemanusiaan internasional kesulitan masuk karena blokade. Relawan hanya bisa mengirim laporan dari jauh. Sementara itu, pemerintah-pemerintah besar dunia masih sibuk membahas kata-kata diplomatik yang tak menyelamatkan siapa pun.

Dukungan terhadap Palestina atau Kepentingan Sendiri?
Kini dunia berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, gelombang dukungan terhadap kemerdekaan Palestina menguat. Negara-negara seperti Spanyol, Norwegia, Irlandia, dan beberapa negara Amerika Latin telah secara terbuka mendukung kemerdekaan Palestina. Gerakan boikot terhadap produk-produk Israel juga makin meluas.

Namun di sisi lain, negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia masih setengah hati. Meski publiknya mulai bersuara, keputusan politik mereka tetap diliputi oleh kalkulasi jangka panjang, lobi senjata, dan kepentingan ekonomi.

Dunia tidak sedang membicarakan Palestina semata. Dunia sedang berbicara soal siapa yang punya hak menentukan nasib manusia: rakyat yang dijajah atau kekuatan yang bersenjata.

Dalam situasi seperti ini, diam adalah bentuk keberpihakan. Ketika dunia gagal bersuara, atau sekadar bersuara tanpa tindakan, maka kekejaman akan menang dengan mudah. Israel tak akan berhenti karena dikecam — ia hanya akan berhenti ketika ditekan dengan nyata.

Dan hingga hari ini, tekanan itu belum datang. Dunia hanya menonton. Palestina masih berdarah. *


Pilihan Editor
Berita Lainnya
riau
BSP Tetapkan Lima Prioritas Kerja untuk Jaga Produksi Minyak
Selasa, 30 September 2025 | 07:05:47 WIB
nusantara
Komnas HAM Bongkar Fakta Mengejutkan di Tesso Nilo di Riau
Senin, 29 September 2025 | 15:17:00 WIB
Pasar
Wajah
Dipercaya Gubri Jabat Kadis PMD Riau, Ini Harapan Mhd Firdaus
Dipercaya Gubri Jabat Kadis PMD Riau, Ini Harapan Mhd...
Jumat, 19 September 2025 | 23:14:21 WIB
Artikel Popular
1
2
3
politikus
Jazuli: Nilai Undang Undang Pemilu Perlu Revisi
Jazuli: Nilai Undang Undang Pemilu Perlu...
Jumat, 3 Januari 2025 | 16:30:00 WIB
Politik
Riau dan Gagalnya Mimpi Wisata
Riau dan Gagalnya Mimpi Wisata
Senin, 5 Mei 2025 | 11:59:34 WIB
Tradisi Unik yang Penuh Makna dan Keseruan
Tradisi Unik yang Penuh Makna dan Keseruan
Minggu, 16 Maret 2025 | 10:04:32 WIB
Bali Destinasi Wisata Nomor Satu di Asia-Pasifik
Bali Destinasi Wisata Nomor Satu di Asia-Pasifik
Kamis, 13 Maret 2025 | 11:56:04 WIB